Jam berapa sekarang?

Thursday, June 17, 2010

Bukek Siansu 2

wanita yang berotak miring! "Toanio(Nyonya), kau kenapakah...? Sin Liong melangkah ke depan. Tiba-tiba wanita
itu meloncat bangun dan Han Ti Ong sudah siap melindungi muridnya yang sama sekali tidak kelihatan takut itu.
Akan tetapi wanita itu lalu tiba-tiba tertawa terkekeh. "Hi-hi-hi-hikk!" Aneh sekali, ketika wanita itu
tertawa, Han Ti Ong melihat wajah yang amat cantik manis! Wanita itu adalah seorang gadis muda yang amat
cantik, akan tetapi yang entah mengapa telah menjadi gila. Pakaian yang dipakainya adalah pakaian pria yang
terlalu besar, rambutnya yang hitam panjang itu riap-riapan tidak diurus, mukanya kotor terkena debu dan air
mata, matanya merah dan membengkak. "Hi-hi-hik, kubunuh engkau, Pat-jiu Kai-ong, aku bersumpah akan membunuhmu
untuk membalas kematian dua belas orang Suhengku!" Kemudian dia menangis lagi. " Hu-hu-huuuuuh.... Cap-sha
Sin-hiap dari Bu-tong-pai habis terbasmi...." Han Ti Ong terkejut dan teringatlah dia akan nama Tiga Belas
Orang Pendekar Bu-tong-pai yang amat terkenal sebagai tiga belas orang pendekar gagah perkasa pembela keadilan
dan kebenaran, teringat pula bahwa mereka terdiri dari dua belas pria dan seorang wanita, kalau tidak salah,
saudara termuda. "Nona, apakah engkau orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai?" tanyanya sambil
melangkah maju menghampiri wanita gila itu. "Jangan sentuh aku! Manusia terkutuk, jangan sentuh aku lagi!" Dan
tiba-tiba wanita itu menyerang dengan hebatnya. Han Ti Ong menangkis dan menotok. Robohlah wanita itu, roboh
dalam keadaan lemas tak dapat bergerak lagi. "Suhu, mengapa....?" Sin Liong bertanya penasaran. "Bodoh, kalau
tidak kutotok, tentu dia akan mengamuk terus. Coba kauperiksa dia, apakah kau bisa mengobatinya?" Sin Liong
berlutut dan melihat wanita itu hanya melotot tanpa mampu bergerak. Setelah memerikasa sebentar, dia menarik
napas panjang. "Suhu, dia terkena pukulan batin yang amat berat, membuat dia menjadi begini, berubah
ingatannya. Kalau kita berada di Jeng-hoa-san, kiranya dapat teecu mencarikan daun penenang utnuk
mengobatinya." "Hemm, kau lihatlah Gurumu mencoba untuk mengobatinya." Han Ti Ong megeluarkan sebatang jarum
emas dari sakunya, setelah membersihkan ujungnya dia lalu mengahampiri wanita itu dan menusukkan jarum emasnya
di tiga tempat, di tengkuk kanan kiri dan ubun-ubun! Sin Liong memandang dengan mata terbelalak. Dia sudah
mendengar dari ayahnya tentang kepandaian orang mengobati dengan tusukan jarum, akan tetapi sekarang dia
menyaksikannya. Dan wanita itu baru mengeluh lalu tertidur dengan pernapasan yang panjang dan tenang. Ketika
gurunya mencabut jarum dan menyimpannya, gurunya berkata, "Coba kau periksa lagi matanya, apakah sudah ada
perubahan?" Sin Liong membuka pelupuk mata dan meihat bahwa mata wanita itu yang tadinya mengeluarkan sinar
aneh yang liar, kini telah normal kembali. Dia cepat menjatuhkan dirinya berlutut di depan Suhunya. "Suhu,
teecu seperti buta, tidak tahu bahwa Suhu adalah seorang ahli pengobatan pula." "Hemm, dalam hal mengenal
tetumbuhan obat, mana aku mampu menandingimu? Akan tetapi aku mempunyai kepandaian menusuk jarum, kepandaian
turunan yang tentu kelak akan kuajarkan kepadamu." "Suhu, teecu mengajukan sebuah permohonan, harap Suhu tidak
keberatan." "Hemm, apa lagi?" "Harap Suhu suka menolong wanita malang ini, dan membiarkan dia ikut dengan
kita." "Kau..............kau gila.......?" "Suhu, dia belum sembuh benar. Kalau dia dibiarkan disini, lalu
datang orang jahat, bagaimana?" "Ha, kau tidak usah khawatir. Dia adalah orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap,
ilmu kepandaiannya tinggi. Siapa berani mengganggunya?" "Buktinya, dua belas orang suhengnya tewas dan tentu
mereka itu adalah mayat-mayat yang tadi kita kubur. Agaknya yang membunuh adalah Pat-jiu Kai-ong. Selain itu,
kalau dia teringat akan peristiwa itu sebelum sembuh benar, tentu dia akan kumat gilanya dan apakah Suhu tega
membiarkan dia seperti itu?" Han Ti ong memandang wajah wanita yang bukan lain adalah The Kwat Lin itu. Dia
terheran sendiri mengapa wajah yang kotor dan rambut yang kusut itu mendatangkan rasa iba yang luar biasa di
hatinya? Mengapa dia merasa tertarik dan ingin sekali menolong wanita muda ini? Apakah dia sudah "Ketularan"
watak muridnya, ataukah... ataukah...? Dia tidak berani membayangkan. Selama ini hanya isterinya seoranglah
wanita yang menarik hatinya, yang membangkitkan gairahnya, akan tetapi perempuan gila ini.. entah mengapa,
telah membuat dia tertarik dan kasihan sekali. "Sudahlah, kau memang cerewet, dan kalau tidak kuturuti, tentu
kau rewel terus. Biar kita membawa bersama ke Pulau Es, kita lihat saja nanti bagaimana perkembangannya."
Ucapan terakhir ini seperti ditujukan kepada hatinya sendiri! "Teecu tahu, Suhu adalah seorang yang budiman."
Dengan hati mengkel karena ucapan muridnya itu seperti ejekan kepadanya karena dia mau menolong dara ini sama
sekali bukan karena dia budiman, melainkan karena dia kasihan dan terutama sekali... tertarik hatinya, dengan
kasar dia lalu mengempit tubuh wanita itu di bawah ketiak kanannya, dan menyambar tubuh Sin Liong di bawah
ketiak kirinya dan larinya Pangeran yang sakti ini secepat terbang menuju ke pantai lautan. Siapakah sebetulnya
manusia sakti yang ditakuti oleh tujuh orang tokoh kang-ouw itu? Siapakah Pangeran Han Ti Ong yang pada bagiaan
dada bajunya terdapat lukisan burung Hong dan seekor Naga emas itu? Dia adalah pangeran dari Pulau Es. Pulau
ini merupakan pulau rahasai yang hanya dikenal orang kang-ouw seperti dalam dongeng karena tidak pernah ada
orang yang berhasil menemukan pulau itu kecuali beberapa orang nelayan yang perahunya diserang badai dan mereka
ini ditolong oleh manusia-manusia sakti, manusia yang menjadi penghuni Pulau Es, sebuah pulau dari es dimana
terdapat istana indah dan merupakan sebuah kerajaan kecil penuh dengan orang sakti. Setelah ditolong dan
diselamatkan, dan berhasil kembali ke daratan, para nelayan inilah yang membuat cerita seperti dongeng itu
sehingga nama sebutan Pulau Es terkenal di dunia kang-ouw. Kerajaan di Pulau Es itu dibangun oleh seorang
pangeran, ratusan tahun yang lalu. Seorang pangeran yang amat sakti, seorang pangeran yang dianggap pemberontak
karena berani menentang kehendak kaisar, dan pangeran ini bersama keluaraganya menjadi pelariaan. Dengan
kesaktiannya, dia berhasil melarikan keluarganya ke pantai timur dan menggunakan sebuah perahu utnuk mencari
tempat baru. Tujuannya adalah ke pulau di timur di mana dahulu sudah banyak orang-orang pandai dari daratan
yang melarikan diri dan menjadi buronan karena berani menentang pemerintah, yaitu Kepulauan Jepang! Akan tetapi
dia tersesat jalan, perahunya dilanda badai hebat dan perahunya dibawa jauh ke utara sampai kemudian perahu itu
mendarat di sebuah pulau. Pulau Es! Melihat pulau itu tersembunyi, baik sekali dijadikan tempat
persembunyiannya, dan di sekitar situ terdapat pulau-pulau lain yang tanahnya cukup subur, maka pangeran
pelarian ini mengambi keputusan untuk menjadikan Pulau Es sebagai tempat tinggalnya. Dia lalu mengumpulkan
orang-orang yang setia kepadanya, membawa mereka ke Pulau Es menjadi pengikut-pengikutnya. Dibangunnya sebuah
istana yang kecil namun indah di Pulau itu dan berdirilah sebuah kerajaan kecil di tempat terasing ini! Berkat
kebijaksanaan Raja Pulau Es ini, para pengikutnya dan keluarga raja hidup aman tentram dan penuh kebahagiaan di
Pulau Es. Para keluarganya hidup rukun dan para pengikutnya membentuk keluarga-keluarga sehingga penghuni pulau
itu berkembang biak. Karena kesaktian rajanya, dan karena letak pulau itu yang sukar dikunjungi orang luar,
maka kerajaan kecil ini tidak pernah terganggu. Raja itu mewariskan kepandaiannya kepada keturunannya,
merupakan ilmu-ilmu warisan yang hebat, dan tentu saja para pengikut mereka mendapat pula pelajaran ilmu yang
tinggi. Pangeran Han Ti Ong adalah keturunan ke empat dari raja pertama di Pulau Es. Pangeran ini berbeda
dengan keturunan raja yang sudah-sudah. Kalau semua keturunan raja hidup di Pulau Es dan hanya meninggalkan
pulau kalau mereka ada keperluan di pulau-pulau kosong sekitar daerah itu untuk mengambil daun obat,
sayur-sayuran atau berburu binatang, maka Pangeran Han Ti Ong tidak betah tinggal di tempat sunyi itu. Dia
sering kali pergi dari pulau dan diam-diam dia melakukan perantauan di daratan! Dia adalah orang yang paling
banyak mewarisi ilmu nenek moyangnya sehingga dia adalah orang terpandai diantara para keluarga raja di Pulau
Es. Apalagi karena dengan kesukaannya merantau di daratan, dia dapat mengambil banyak ilmu-ilmu silat tinggi
yang lain dari daratan sehingga kepandaiannya bertambah. Dan gara-gara perantauan Pangeran inilah maka Pulau Es
menjadi makin terkenal dan nama Pangeran Han Ti Ong sendiri juga menggemparkan dunia kang-ouw sungguhpun dia
jarang sekali memperkenalkan diri. Melihat bajunya yang terhias gambaran naga dan burung Hong itu saja sudah
cukup bagi para tokoh kang-ouw untuk mengenal manusia sakti dari Pulau Es ini, seperti peristiwa yang terjadi
di Hutan Seribu Bunga ketika Pangeran ini menghadapi tujuh orang tokoh besar dunia kang-ouw. Para Pangeran yang
sudah-sudah, selalu mengambil isteri dari keluarga kerajaan sendiri, yaitu saudara-saudara misan mereka
sendiri. Hal ini adalah untuk menjaga agar "darah" kerajaan tetap "asli". Akan tetapi, berbeda dengan semua
kebiasaan para pangeran, Han Ti Ong yang jatuh cinta kepada seorang dara puteri penghuni Pulau Es biasa,
berkeras mengambil dara itu sebagai isterinya! Padahal biasanya, dara-dara yang berdarah "biasa" ini hanya
diambil sebagai selir-selir oleh para pangeran dan raja. Akan tetapi, Pangeran Han Ti Ong tidak mau mengambil
selir dan hanya mempunyai seorang isteri, yaitu anak nelayan yang menjadi pengikut keluarga raja, seorang dara
biasa saja, namun yang sesungguhnya memiliki kecantikan yang mengatasi kecantikan para puteri raja! Dari isteri
tercinta ini, Pangeran Han Ti Ong mempunyai seorang puteri yang pada waktu itu berusia enam tahun, seorang anak
perempuan yang mungil, cantik, keras hati seperti ayahnya dan gembira seperti ibunya. Anak ini diberi nama Han
Swat Hong(Angin Salju) ini diambil oleh Pangeran Han Ti Ong untuk menamakan puterinya karena ketika puterinya
terlahir, Pulau Es dilanda angin dan salju yang amat kuat! Pada pagi hari itu Swat Hong, nak perempuan berusia
enam tahun lebih itu, duduk bengong di tepi pantai Pulau Es. Dia sengaja memilih tempat sunyi yang agak tinggi
ini untuk melihat jauh ke selatan, dan hatinya penuh rindu terhadap ayahnya yang sudah pergi selama tiga bulan
itu. "Hong-ji (Anak Hong)..." Swat Hong menoleh dan melihat bahwa yang memanggil tadi adalah ibunya, dia lalu
meloncat bangun, lari menghampiri ibunya, meloncat dan merangkul leher ibunya dan menangis. Ibunya tertawa.
:Aih-aihhh... anakku yang biasanya periang tertawa mengapa menangis? Mengapa bulan yang berseri gembira menjadi
suram? Awan hitam apakah yang menghalanginya?" "Ibu, kau...kau kejam!" "Ihh! Ibumu kejam? Mungkin kalau sedang
menyembelih ikan atau ayam. Akan tetapi ibumu tidak kejam terhadap manusia." Memang watak Liu Bwee, ibu anak
itu, atau isteri Pangeran Han Ti Ong adalah lincah gembira yang menurun pula kepada Swat Hong. "Ibu kejam,
mengapa Ibu tidak berduka? Apakah Ibu tidak rindu kepada Ayah?" Tiba-tiba muka wanita itu menjadi merah sekali
dan terasa lagi dua titik air mata meloncat turun ke atas pipinya. Melihat ini, Swat Hong melorot turun dan
bertepuk-tepuk tangan, "Hi-hi, Ibu menangis! Ibu juga rindu kepada Ayah? Hayoh, Ibu sangkal kalau berani!"
Memang watak anak-anak, begitu melihat orang lain berduka, dia sendiri lupa akan kedukaanya dan merasa
terhibur! Ibunya berlutut, memeluk dan menciuminya, akan tetapi masih bercucuran air mata. Swat Hong yang
tadinya berbalik menggoda ibunya yang dianggapnya rindu kepada ayahnya seperti juga dia tadi, kini menjadi
terheran dan berkhawatir. "Ibu, mengapa ibu berduka? Apa yang terjadi? Apakah diam-diam ibu begitu merindukan
Ayah dan menyembunyikannya saja?" Liu Bwee memaksa diri tersenyum dan menghapus air matanya, mengangguk-angguk
sebagai jawaban karena masih sukar baginya untuk mengeluarkan suara tanpa terisak menangis. Akan tetapi
puterinya itu adalah seorang anak yang amat cerdik, maka tentu saja tidak dapat dibohonginya semudah itu. "Ibu
ada apakah? Harap Ibu beritahu kepadaku, siapa yang menyusahkan hati Ibu? Akan kuhajar dia!" Swat Hong mengepal
kedua tinjunya yang kecil seolah-olah orang yang menyusahkan hati ibunya sudah berada disitu dan akan
dihantamnya. Melihat sikap anaknya ini, hati Liu Bwee terharu sekali dan ingin dia menangis lagi, akan tetapi
ditekannya perasaan harunya dan dia tertawa. "Aih, Hong-ji, kalau ada yang kurang ajar kepada ibumu, apakah
Ibumu tidak dapat menghajarnya sendiri?" Swat Hong tertawa. "Memang aku tahu bahwa kepandaian Ibu juga hebat,
biarpun tidak sehebat Ayah, akan tetapi tidak puas kalau aku tidak menghajar dengan kedua tanganku sendiri
kepada orang yang menyusahkan hati Ibu." "Anakku yang baik...!" Untuk menekan harunya, LIu Bwee mengangkat
tubuh anaknya, dipeluk, diciuminya kemudian dia membentak, "Terbanglah!" dan melempar tubuh anak itu ke atas.
Swat Hong bersorak gembira. Itulah sebuah diantara permainan mereka. Dia senang sekali kalau dilempar ke udara
oleh Ibunya, terutama kalau ayahnya yang melakukannya karena lemparan ayahnya membuat tubuhnya "terbang" tinggi
sekali. Namun kini lemparan ibunya cukup menggembirakan hatinya karena biarpun Ibunya tidak sekuat ayahnya,
lemparannya cukup membuat tubuhnya melambung tinggi melewati puncak pohon! Ketika tubuhnya melayang turun,
ibunya sudah siap menyambutnya, akan tetapi dasar anak nakal, dia menggunakan kesempatan ini untuk berlatih!
Dia cepat membalikkan tubuh sehingga kedua kakinya diatas dan cepat dia menggunakan kedua tangannya untuk
menyerang ibunya, mencengkram ke arah ubun-ubun. Itulah jurus terakhir yang dilatihnya dari ayahnya yang
seharusnya dilakukan dengan loncatan ke atas dan menyerang ubun-ubun kepala lawan, akan tetapi kini
dilakukannya ketika dia melayang turun! "Haaiiiit...!!" Untuk memperingatkan ibunya, Swat Hong menjerit sebelum
menyerang. Tentu saja Liu Bwee tidak perlu diperingatkannya lagi. Semenjak menjadi isteri Pangeran Han Ti Ong,
wanita puteri nelayan yang tentu saja seperti semua penghuni Pulau Es telah memiliki dasar ilmu silat tinggi,
telah digembleng oleh suaminya dengan ilmu-ilmu simpanan yang tinggi sehingga dia menjadi seorang yang sakti
seperti semua keluarga kerajaan itu. Melihat kegembiraan puterinya, dia pun cepat mengelak, dari samping dia
menyambar kedua lengan anaknya dan dengan bentakan nyaring kembali tubuh anaknya dilemparkan ke atas! Tubuh itu
melayang tinggi dan tiba-tiba dari atas Swat Hong berteriak girang, "Heiii, Ibu... itu Ayah datang....!!"
Mendengar ini, Liu Bwee cepat lari kepinggir tebing tinggi dan memandang ke laut. Wajahnya berseri-seri,
jantungnya berdebar karena penuh rindu kepada suaminya. Benar saja. Tampak sebuah perahu dan dia mudah mengenal
suaminya yang mendayung perahu itu dengan kekuatan dahsyat sehingga perahu kecil meluncur seperti seekor ikan
hiu yang marah. Akan tetapi alis wanita ini berkerut ketika dia melihat dua orang lain di dalam perahu. Seorang
wanita muda yang cantik! Hatinya terasa tidak enak. Dia tidak akan mengikat suaminya, dan sebagai seorang
isteri pangeran calon raja tentu saja dia maklum bahwa suaminya berhak mengambil selir-selir sebanyaknya. Akan
tetapi entah mengapa, kedatangan suaminya dengan dua orang itu, terutama seorang wanita cantik, mendatangkan
rasa gelisah yang aneh didalam hatinya. "Ibuuuu.....tolong dulu aku...........!"



Teriakan Swat Hong ini mengejutkan hatinya. Dia menengok dan melihat tubuh anaknya meluncur turun. Dia kaget
dan baru sadar bahwa ketegangan mendengar suaminya pulang membuat dia lupa kepada puterinya. Sungguhpun Swat
Hong telah memiliki ginkang yang cukup baik akan tetapi meluncur turun dari tempat tinggi seperti itu ada
bahayanya patah atau setidaknya salah urat. Untuk meloncat sudah tidak ada waktu lagi, maka cepat dia menyambar
sebuah ranting kayu di dekat kakinya, melontarkan kayu itu dengan tepat melayang di bawah kaki Swat Hong dan
anak ini juga idak menyianyiakan pertolongan ibunya. Dia menginjak kayu itu dan tenaga luncuran kayu itu dapat
menahan dan mengurangi tenaga luncuran tubuhnya sendiri dari atas sehingga dia dapat meloncat kebawah dengan
aman. Seperti tidak pernah mengalami bahaya apa-apa, anak itu lalu lari ke arah ibunya dan berteriak girang,
"Ayah datang, Ibu?" Ibunya hanya mengangguk tanpa menoleh, tetapi memandang ke arah perahu yang makin mendekat
pantai. "Heii, Ayah bukan datang sendiri! Ada seorang wanita dan anak laki-laki bersama ayah di dalam perahu!"
Liu Bwe tetap tidak menjawab akan tetapi memandang tajam penuh selidiki ke arah perahu. "Wah, jangan-jangan itu
selir dan putera..ayah!" Swat Hong yang memang berwatak terbuka itu berkata mengomel. Dia pun sudah tahu akan
kebiasaan para pangeran untuk mengambil selir, maka dia tidak akan merasa heran pula kalau ayahnya juga
mempunyai selir di luar pulau Es, biar pun hatinya merasa tidak senang dan penuh iri memandang kepada anak
laki-laki di dalam perahu itu. Mendengar ucapan yang tanpa disengaja oleh Swat Hong merupakan benda tajam
menusuk hatinya itu, Liu Bwee menjawab, Perempuan itu masih terlalu muda untuk menjadi ibu anak laki-laki itu,
Sungguhpun bukan tidak mungkin dia adalah selir Ayahmu karena dia memang cantik." Jawaban ini keluar dari lubuk
hati Liu Bwee sehingga keluar melalui mulutnya seperti tidak disadarinya. Barulah dia kaget ketika kalimat itu
telah terucapkan. Cepat dia menoleh ke arah puterinya dan merasa menyesal telah mengeluarkan katakata yang
penuh cemburu tadi. Segera digandengnya tangan anaknya dan untuk mengapus kata-katanya dari hati anaknya dia
berkata riang, "Ehh, kenapa kita disini saja? Hayo kita sambut Ayahmu!" Berlarilarianlah mereka menuruni tebing
untuk menyambut kedatangan Pangeran Han Ti Ong di pantai pasir. Sikap wanita yang penuh kegembiraan ini
menyembunyikan semua perasaanya sehingga Swat Hong sudah lupa lagi akan kedukaan ibunya tadi. Sebenarnya,
memang amat giranglah hati Liu Bwee melihat kembalinya suaminya sungguhpun kegembiraanya itu akan lebih besar
andai kata suaminya pulang sendirian saja. Semenjak suaminya pergi beberapa bulan yang lalu dia mengalami
penderitaan batin yang hebat. Memang dia maklum bahwa dirinya tidak disukai oleh keluarga kerajaan, karena
dianggap seorang wanita berdarah rendah. Kebencian keluarga itu menjadi-jadi ketika mendapat kenyataan betapa
Han Ti Ong tidak mau mengambil selir.Hal ini dianggap oleh mereka Bahwa Liu Bwee menggunakan daya upaya untuk
mengikat suaminya!. Apalagi karena Liu Bwee tidak mempunya anak laki-laki, maka kebencian mereka makin
bertambah. Sudah tentu saja, yang merasa paling benci adalah mereka yang mengharap agar Han Tiong pangeran
calon raja itu memperistrikan puteri mereka! Pada waktu itu, raja yang sudah tua menderita sakit dan sudah
menjadi dugaan umum bahwa usianya takan bertahan lama lagi. Agaknya raja itu hanya menantikan kembalinya
puteranya yang menjadi putera mahkota, yaitu pangeran Han Ti Ong untuk mewariskan singasana kepada puteranya
ini. Akan tetapi, karena keadaan Han Ti Ong yang lain daripada para pangeran lain, suka merantau, isterinya
orang rendah dan hanya satu, tidak punya selir, tidak punya putera, maka Liu Bwee maklum bahwa di antara
keluarga raja terdapat persekutuan yang menentang diangkatnya suaminya menjadi calon raja! Hal inilah yang
mendukakan hatinya. Dia menganggap bahwa dirinya menjadi penghalang Bagi suaminya dan hal inilah yang paling
merusak hatinya. Maka dapat dibayangkan betapa gembira hatinya melihat suaminya pulang! Ketika ibu dan anak ini
tiba dipantai, ternyata pasukan kehormatan telah berbaris dan siap menyambut pulangnya pangeran yang dihormati
itu. Tentu saja Liu Bwee dan Swat Hong mendapat tempat kehormatan paling depan dan ketika akhirnya perahu itu
menempel dipantai dan Han Ti Ong melompat keluar sambil tersenyum lebar, Swat Hong menjadi orang pertama yang
berlari menyambut. "Ayah....!!" "Ha-ha, Hong-ji, kau makin cantik saja!" Han Ti Ong menerima puterinya itu dan
mengangkatnya tinggitinggi, lalu melemparkan tubuh anaknya keudara. Sambil tertawa-tawa Swat Hong melayang
turun dan langsung menyerang ayahnya dengan jurus Kek-seng-jip-hai (Bintang Terompet Meluncur ke Laut ) seperti
yang dilakukanya kepada ibuya tadi. "Ha-ha-ha, bagus juga!"Ayahnya tertawa, menyambar kedua lengan yang
mencengkram ubun-ubunnya, lalu memondong puterinya, dan mencium dahinya. Sambil memondong puterinya Han Ti Ong
menghampiri istrinya yang sudah maju menyambutnya, memandang penuh kemesraan dan berkata halus, Harap kau
baik-baik saja selama aku pergi." Liu Bwee memandang suaminya, tersenyum akan tetapi di balik senyum itu tampak
oleh Han Ti Ong ada sesuatu yang menggelisahkan hati istrinya, apalagi ketika mendengar suara istrinya lirih.
"Ayahanda raja sedang menderita sakit parah." Han Ti Ong mengangguk. Ucapan yang pendek itu sudah mencakup
semua isi hati istrinya. Dia sudah mengenal hati istrinya yang tercinta itu dan tahu dia bahwa menjelang
kematian ayahnya, ada hal-hal yang menggelisahkan istrinya. Tentu saja tentang warisan tahta kerajaan dan
istrinya yang datang dari keluarga berdarah "rendah" itu tentu saja mengkhawatirkan bahwa keturunan istrinya
itu akan menjadikan persoalan bagi pengangkatan raja! Maka dia memandang isterinya dengan sinar mata menghibur,
kemudian seperti teringat dia berkata, "Ahh, hampir aku lupa. Aku datang bersama seorang muridku, namanya Sing
Liong akan tetapi di daratan besar sana dia dikenal sebagai Sin-tong." "Hai, seorang sin-tong (anak ajaib)?
Hemm, ingin aku tahu sampai di mana keajaibannya!" "Hong-ji, jangan!" ibunya menegur, akan tetapi anak itu
meloncat ke depan dan pada saat itu, Sin Liong sudah turun dari atas perahu. Baru saja dia berjalan menghampiri
gurunya, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang gadis cilik dengan gerakan seperti seekor
burung garuda menyambar telah menyerangnya dari depan, sebuah kaki kecil telah menghantam dadanya. "Bukk!!"
Tanpa dapat ditanyakan lagi, Sin Liong roboh terjengkang, dadanya terasa nyeri dan napasnya sesak. Akan tetapi
dia bangkit berdiri, mengebutkan pakaianya yang menjadi kotor, memandang anak perempuan yang lebih muda
daripada dia itu, menggeleng kepala dan berkata tenang, "Sungguh sayang sekali, seorang anak-anak yang masih
bersih dikotori kebiasaan buruk mempergunakan kekerasan untuk memukul orang tanpa sebab." "Aihhh..." Swat Hong
tertegun, lalu menoleh kepada ayahnya yang terdengar tertawa keras, "Ayah, dia tidak bisa apa-apa, mengapa
disebut Sin-tong? Serangan biasa saja membuatnya roboh terjengkang!" "Ha-ha-ha, kaulihat dia roboh, akan tetapi
apakah kau tidak lihat sesuatu yang ajaib? Dia tidak marah malah menyayangkan dirimu, bukankah itu ajaib?"
"Anak yang luar biasa dia..." terdengar Liu Bwee berkata lirih dan kini Swan Hong juga memandang Sin Liong .
Akan tetapi dia masih merasa tidak puas dan berkata, "Dia tidak marah karena takut dan pengecut, Ayah!" "He,
Sin Liong, apakah engkau takut kepada Swat Hong ini?" Han Ti Ong berteriak kepada Sin Liong. Anak ini
menggeleng kepala. "Suhu mengerti bahwa teecu tidak takut terhadap apa pun dan siapa pun." Swat Hong
membusungkan dadanya yang masih gepeng itu, menegakan kepalanya dan menantang, "Bocah sombong ,kalau kau tidak
takut, hayo kaulawan aku!" Dia sudah siap memasang kuda-kuda. Sin Liong menggeleng kepalanya. "Adik yang baik,
aku tidak akan menggunakan kepandaian apapun juga untuk melakukan kekerasan terhadap orang lain, apalagi
terhadap seorang anak-anak seperti engkau." Gadis cilik itu sudah menerjang maju, dipandang oleh Sin Liong
dengan sikap tenang saja, berkedip pun tidak menghadapi serangan anak perempuan itu. Tiba-tiba tubuh Swat Hong
terhuyung ke belakang dan ternyata lengannya sudah ditangkap oleh ibunya dan ditarik ke belakang. "Swat Hong,
kau terlalu sekali! Seharusnya kau minta maaf kepada Suhengmu itu!" Swat Hong menoleh, melihat ayahnya
tersenyum, melihat pandang mata semua orang dari prajurit sampai perwira penuh kagum terhadap Sin Liong.
Barulah dia ingat bahwa dia telah melanggar pelajaran pertama dari ayahnya, bahkan dari semua penghuni pulau
bahwa ilmu silat pulau Es tidak boleh sembarangan dikeluarkan untuk menyerang orang tanpa alasan! Dan dia telah
menyerang Sin Liong tanpa sebab apa-apa, padahal Sin Lion adalah murid ayahnya atau suhengnya (kakak
seperguruan). Biarpun dia berwatak keras dan tidak mengenal takut, akan tetapi sifatnya yang gembira dan mudah
berubah membuat Swat Hong dapat mengusir semua rasa penasaran dan sambil tersenyum dan muka ramah dia menjura
ke arah Sin Liong sambil berkata, "Suheng, harap maafkan aku yang kurang ajar tehadap murid Ayah." Sin Liong
terkejut. Kiranya bocah ini puteri suhunya! Dia pun menjura dan berkata, Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sumoi.
Kepandaianmu memang hebat, tentu saja aku bukan tandinganmu." "Hi-hik, wah, dia baik sekali, Ayah!" Swat Hong
lalu meloncat menghampiri Sin Liong, menggandeng tangannya dan diajak lari ke pinggir di mana dia menghujani
Sin Liong dengan pertanyaan-pertanyaan. "Siapakah nama lengkapmu, Suheng? Dari mana kau datang? Bagaimana kau
dapat menjadi murid Ayah? Apa saja yang sudah diajarkannya kepadamu? Mengapa pula kau disebut Sin-tong?" "Payah
juga Sin Liong menghadapi hujan pertanyaan dari anak perempuan yang baru saja menyerangnya seperti seekor
burung garuda akan tetapi yang kini sudah bersikap demikian ramah dan baik terhadapnya ini. Akan tetapi baru
saja dia memperkenalkan namanya, yaitu Kwan Sin Liong dan belum sempat menjawab pertanyaan yang lain,
perhatiannya, juga Swat Hong dan semua orang yang berada disitu tertarik oleh keributan yang terjadi ketika
Kwat Lin turun dari atas perahu. Begitu Kwat Lin turun dari perahu, wanita yang masih belum sadar betul dari
gangguan ingatannya karena malapetaka hebat yang menimpa dirinya, menjadi perhatian semua orang. Wanita ini
memang berwajah manis dan gagah, apalagi ketika turun dari perahu itu rambutnya yang awut-awutan berkibar
tertuip angin, pakaiannya yang terlalu longgar itu membuat dia kelihatan makin aneh dan penuh rahasia. Kwat Lin
turun dengan sikap tenang, akan tetapi matanya bergerak liar menyapu semua orang yang memandangnya, kemudian
mata itu berhenti memandang kepada Liu Bwee yang telah melangkah menghampirinya. "Dia ini siapakah?" Liu Bwee
bertanya tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah pucat itu sambil didalam hatinya menduga-duga dan menanti
jawaban yang diharapkan dari suaminya karena pertanyaan itu sesungguhnya diajukan kepada suaminya. Akan tetapi
sebelum Han Ti Ong menjawab, tiba-tiba Kwat Lin, wanita itu membentak, "Manusia-manusia busuk! Kubunuh engkau!"
Dan dia sudah meloncat ke depan dan menyerang Liu Bwee dengan pukulan yang dahsyat. "He, Twanio! jangan
begitu...!!" Sin Liong berteriak mencegah, namun terlambat karena Kwat Lin sudah menyerang dengan cepatnya.
Sedangkan para penghuni Pulau Es, termasuk Swat Hong dan Pangeran Han Ti Ong sendiri, hanya memandang dengan
tenang-tenang saja! "Wuuuutttt... plak-plak...!" Tubuh Kwat Lin terplanting ketika pukulannya tertangkis oleh
Liu Bwee dan wanita ini sudah menampar pundaknya sebagai serangan balasan. Hal ini membuat Kwat Lin yang memang
belum sadar benar itu makin marah. Dengan nekat dia melompat bangun dan menerjang lagi, Pangeran Han Ti Ong
sudah mendahuluinya menotok pundaknya sambil berkata, "Tenanglah, Nona," Kwat Lin kembali roboh, akan tetapi
tubuhnya disambar oleh Han Ti Ong. Ternyata dia telah ditotok lemas. Dengan lambaian tangan, Pangeran itu
memanggil empat orang wanita pelayan yang kelihatan tangkas-tangkas. "Dia sedang sakit ingatannya tidak
sewajarnya." Ucapan ini ditujukan kepada istrinya yang memandang marah. mendengar ini, Liu Bwee
mengangguk-angguk dan kemarahannya di wajahnya berubah menjadi iba. "Bawa dia ke kamar tamu dan rawat dia
baik-baik," kata Liu Bwee kepada empat orang pelayan itu yang segera menggotong tubuh Kwat Lin pergi dari situ.
Barulah Pangeran Han Ti Ong kini mempedulikan sambutan resmi dari para pangeran dan pasukan penghormatan. Tadi
dia seolah-olah menganggap mereka semua itu seperti patung belaka. Dengan megah Pangeran itu lalu langsung
diantar ke kamar ayahnya Sang Raja yang sedang sakit dan yang telah lama menanti kedatangan puteranya ini
sedangkan Sin Liong langsung diajak oleh Swat Hong ke bagian istana di mana dia dan ibunya tinggal, yaitu di
bagian kiri istana besar. Tepat seperti telah diduga oleh semua penghuni Pulau Es, tiga hari kemudian setelah
pulangnya Pangeran Han Ti Ong, raja tua meninggal dunia setelah sempat menyaksikan Han Ti Ong dinobatkan
menjadi penggantinya, merajai Pulau Es dalam upacara yang amat sederhana. Dapat dibayangkan betapa tidak puas
dan penasaran rasa hati para pangeran yang membenci Han Ti Ong karena usaha mereka memanaskan hati mendiang
ayah mereka tentang keadaan Han Ti Ong tidak dipedulikan oleh raja tua itu. Dan untuk memberontak secara
terang-terangan, tentu saja mereka tidak berani karena di dalam pulau itu, pada waktu itu Han Ti Ong merupakan
orang yang paling sakti. Maka, mereka itu hanya diam saja biarpun tidak pernah lengah barang seharipun untuk
mencari peluang dan kesempatan yang baik untuk menjatuhkan Han Ti Ong, atau lebih tepat lagi, menjatuhkan Lui
Bwee yang mereka anggap sebagai biang keladi dari "penyelewengan" Han Ti Ong dari kebiasaan keluarga raja di
Pulau Es! Setengah bulan kemudian, berkat perawatan yang baik dari Liu Bwee dan para pelayan, juga dengan
pengobatan tusuk jarum oleh Raja Han Ti Ong sendiri, ditambah obat-obatan berupa daun-daun yang dicari para
anak buah Pulau Es atas petunjuk Sin Liong, gangguan ingatan yang diderita oleh The Kwat Lin menjadi sembuh.
Pada suatu pagi, wanita yang bernasib malang ini duduk seorang diri di dalam taman istana, taman yang bukan
berisi bunga bungan hidup, melainkan terisi ukir-ukiran bunga dari batu-batu beraneka warna, dihias salju dan
patung patung kayu. Sudah berhari-hari, dia duduk di taman ini dan didiamkan saja karena menurut Raja Han Ti
Ong, wanita malang ini harus dibiarkan pulih kembali ingatannya dan tidak boleh diganggu. Namun, diam-diam dia
sendiri melakukan pengawasan karena entah bagaimana, makin lama dia menjadi tertarik dan tahu bahwa dia jatuh
hati kepada gadis ini!" Tiba-tiba Kwat Lin melompat bangun karena mendengar gerakan di belakangnya. Sebagai
seorang hali silat kelas tinggi, sedikit suara saja cukup membuat dia siap waspada . Ketika dia membalik, dia
melihat Han Ti Ong yang berdiri di situ sambil memandangnya dengan senyum ramah. The Kwat Lin yang kini sudah
sembuh sama sekali, memandang penuh keheranan lalu menegur, "Siapakah engkau? Dan mengapa engkau bisa berada di
tempat aneh ini?" Melihat sikap gadis ini dan mendengar pertanyaan-pertanyaan itu, legalah hati Raja Han Ti
Ong. Sikap dan kata-kata itu sudah cukup membuktikan bahwa Kwat Lin telah sembuh sama sekali, telah kembali
kepada keadaan sebelum mengalami tekanan batin hebat, maka tentu saja tidak mengenalnya dan tidak mengerti
mengapa dan bagaimana bisa berada di pulau itu. "Nona, girang hatiku mendapat kenyataan bahwa Nona telah sembuh
dari lupa ingatan yang Nona derita belasan hari ini." "Lupa ingatan? Sekaranglah aku kehilangan ingatan karena
aku tidak mengenal engkau dan tidak tahu mengapa dan bagaimana aku bisa berada di tempat ini." "Memang
begitulah. Tadinya Nona lupa ingatan, dan baru sekarang Nona sadar sehingga Nona lupa lagi apa yang Nona telah
alami selama belasan hari ini. Sungguh aku ikut merasa berduka dan terharu akan nasib Ca-sha Sin-siap yang amat
malang...." Tba-tiba wajah itu menjadi merah sekali dan kemudian berubah pucat, "Kau... kau tahu apa yang
terjadi kepada kami...?" Raja Han Ti Ong tersenyum dan memandang wajah yang mengguncangkan hatinya itu dengan
senyum mesra. Tentu saja, Nona. Aku dan muridkulah yang mengubur jenazah dua belas orang suhengmu, dan aku dan
muridku pula yang menolongmu membawa kesini kemudian mengobatimu sehingga sembuh hari ini. Aku adalah Raja Han
Ti Ong, raja pulau ini dan kau berada di Pulau Es." Mata yang indah ini terbelalak. "Apa...? Di... di Pulau
Es... dan aku telah mendengar nama besar Pangeran Han Ti Ong..." "Sekarang telah menjadi Raja Han Ti Ong, raja
sebuah pulau kecil tak berarti, Nona, dan aku belum mengetahui namamu karena selama ini kau tidak menyebut
namamu." Kwat Lin menjatuhkan diri berlutut dan menahan isaknya. Saya menghaturkan banyak terima kasih atas
pertolongan Paduka, dan maafkan kalau saya tidak mengenal penolong saya. Saya bernama The Kwat Lin, orang
termuda Cap-sha Sin-hiap, dan...kalau paduka menaruh kasihan kepada saya, saya ingin segera pergi dari sini ...
sekarang juga...." "Nona The, aku adalah seorang yang tidak bisa menyimpan rahasia hati. ketahuilah, semenjak
pertama kali melihatmu dan melihat penderitaanmu, timbul rasa iba dan sayang di dalam hatiku. Karena itu, kalau
kiranya engkau suka aku akan merasa berbahagia sekali kalau Nona mau tinggal didalam istanaku ini, sebagai
seorang istriku, istri ke dua." Kwat Lin terkejut sekali. Dia telah berhutang budi kepada raja ini, dan
sekarang raja ini secara demikian terus terang menyatakan cintanya dan ingin mengambil dia sebagai isteri! Dia
menjadi isteri raja? Dia yang telah dinodai oleh Pat-jiu Kai-ong? "Tidak! Maaf... saya... saya harus pergi
sekarang juga. Hanya satu tujuan hidup saya, dan Paduka tentu tahu... yaitu untuk membunuh iblis Pat-jiu
Kai-ong." Han Ti Ong mengangguk-angguk. "Aku mengerti dan aku sudah menduga bahwa seorang dara perkasa seperti
engkau tentu saja tidak akan mau menerima tawaranku dan tidak mungkin aku mengharapkan seorang dara seperti
Nona akan jatuh cinta begitu saja kepadaku. Akan tetapi aku pun tidak terlalu mengharapkan yang ajaib. Aku
jatuh cinta kepadamu, Nona, dan adanya aku berani meminangnya secara terang-terangan, karena aku yakin Nona
akan menerimanya berdasarkan cita-cita tunggal Nona itulah. Bagaimana mungkin Nona akan membalas dendam kepada
Pat-jiu Kai-ong, sedangkan Cap-sha Sin-hiap saja tidak mampu mengalahkannya. Akan tetapi kalau engkau menjadi
istriku, hemmm...soal membalas dendam kepada Pat-jiu Kai-ong sama mudahnya dengan membalikan telapak tangan."
Ucapan ini berkesan mendalam, memang buat Kwat Lin termangu-mangu. Dia bukan gadis lagi dan tidak mungkin dia
menjadi istri orang, dan baginya setelah berhasil membalas dendam, hanya kematianlah yang akan mengakhiri noda
yang dideritanya. Akan tetapi, menjadi istri kedua Raja Han Ti Ong yang sakti, lain lagi halnya, apa pula kalau
orang sakti itu sendiri sudah tahu akan keadaanya. "Apakah... apakah Paduka akan mengajarkan ilmu kesaktian
kepada saya? tanyanya dan kini dia mengangkat muka, memandang raja itu, diam-diam harus mengakui bahwa
laki-laki ini gagah dan tampan, sungguhpun usianya tentu tidak kurang dari empat puluh tahun. "Terserah
kepadamu. kalau engkau suka memenuhi hasrat hatiku yang ingin memperistrimu. Kalau kau menghendaki, dalam waktu
pendek saja aku dapat menangkap musuhmu itu dan menyeretnya kedepan kakimu. Atau, engkau boleh mempelajari ilmu
dan aku berani tanggung bahwa selama setahun saja engkau akan mengalahkan musuhmu itu." "Be...benarkah itu?"
"Nona The Kwat Lin. Han Ti Ong bukan orang biasa membohong, pula aku tidak ingin mendapatkan dirimu dengan
jalan membohong. Aku telah bicara terus terang dan andaikata engkau menolak sekalipun, aku tidak akan
memaksamu. Sekarang juga, kalau engkau menolak, akan kusediakan perahu untukmu. Nah, engkau yang memutuskan."
Tentu saja timbul keraguan hebat didalam hati Kwat Lin. Dia mengerti betapa lihainya Pat-jiu Kai-ong. Tentu
saja dapat pergi ke Bu-tong-pai dan melaporkan malapetaka yang menimpa Cap-sha Sinhiap itu kepada gurunya,
ketua Bu-tong-pai, Kui Bhok Sianjin. Akan tetapi, gurunya sudah tua sekali, dan belum tentu gurunya mau
mencampuri urusan dunia, biarpun murid-muridnya terbunuh. Mengandalkan para saudara seperguruan, agaknya akan
sukar mengalahkan Pat-jiu Kai-ong, dan terrutama sekali yang memperberat hatinya, kalau dia pergi ke
Bu-tong-pai, tentu semua orang akan tahu tentang malapetaka yang menimpa dirinya, bahwa dia telah diperkosa
oleh Pat-jiu Kai-ong. ke mana dia akan menaruh mukanya kalau semua orang mengetahuinya akan hal itu?
Sebaliknya, kalau dia berada di Pulau Es, selain tak seorang pun akan tahu tentang hal yang memalukan itu, juga
dia akan mempunyai kesempatan besar untuk melakukan balas dendam itu! Akan tetapi, benarkah pria di depannya
ini akan mampu mengajarnya sehingga dalam waktu setahun dia akan lebih pandai dari Pat-jiu Kai-ong? Dia tidak
akan puas kalau tidak dapat membunuh jembel iblis itu dengan tangannya sediri. Biarpun dia sudah banyak
mendengar nama besar Pangeran dari Pulau Es yang kini menjadi raja itu, namun bagaimana dia dapat membuktikan
kesaktianya? Apakah orang ini lebih lihai dari gurunya dan terutama sekali, lebih lihai dari Pat-jiu Kai-ong?
Perlahan-lahan Kwat Lin bangkit berdiri dan sejenak memandang kepada Han Ti Ong yang juga sedang memandangnya.
Keduanya berpandangan dan akhirnya Kwat Lin berkata, "Saya ingin sekali dapat membalas dendam dengan tangan
saya sendiri. Akan tetapi, bagaimanakah saya dapat yakin bahwa dalam setahun saya dapat belajar di sini dan
menangkan iblis itu?" Han Ti Ong tersenyum dan mengeluarkan sebatang pedang dari balik jubahnya. "Inilah pedang
yang kutemukan ketika aku dan muridku menolongmu." Kwat Lin menerima pedang itu dan air matanya turun bertitik
akan tetapi segera dihapusnya. Itulah Angbwe- kiam pedang dari twa-suhengnya! "Engkau meragu, baiklah.
Kaupergunakan pedangmu dan kauserang aku untuk menguji apakah aku dapat melatihmu selama setahun sehingga kau
lebih lihai daripada Pat-jiu Kai-ong." Kwat Lin menimang-nimang pedang Ang-bwe-kiam di tangannya. Pat-jiu
Kai-ong telah dikeroyok oleh dia dan dua belas orang suhengnya. Mereka telah mainkan Ngo-heng-kiam, bahkan
telah membentuk barisan Sin-kiam-tin ketika mengeroyok kakek iblis itu namun akhirnya mereka semua kalah,
sungguhpun sejenak kakek itu terdesak. kini, kalau hanya dia seorang diri menyerang raja ini, mana bisa dipakai
ukuran apakah dia lebih lihai dari Pat-jiu Kai-ong? "Nona, jangan ragu-ragu. Percayalah, kalau engkau benar
rajin belajar, dalam waktu setahun engkau pasti akan dapat mengalahkan dia. Hiat-ciang Hoat-sut dan
Pat-mo-tung-hoat dari kakek itu sebetulnya kosong saja," kata raja itu, seolah-olah dapat membaca isi hati
Kwat-lin. Dara itu terkejut, kemudian mengambil keputusan untuk menguji orang ini sebelum dia menyerahkan
dirinya yang sudah ternoda itu menjadi istrinya sebagai penebus latihan ilmu untuk membalas dendam. "Baiklah,
saya akan menguji kepandaian Paduka, harap Paduka bersiap dan mengeluarkan senjata." "Ha-ha-ha, Pat-jiu Kai-ong
membutuhkan tongkatnya dan pukulan beracunya untuk mengalahkan Cap-sha Sin-hiap, akan tetapi aku cukup
menggunakan ini." Dia meraih kebawah dan tanganya sudah membentuk batu karang sedemikian rupa sehingga batu
karang itu berbentuk panjang seperti pedang! "Harap Paduka siap!" Kwan Lin berseru dan tiba-tiba pedangnya
menyambar dengan cepat, melakukan tusukan ke arah leher sedang tangan kirinya sudah memukul ke arah dada.
Serangan berganda dengan pedang dan pukulan tangan kiri ini merupakan jurus hampuh dari Ngo-heng-kiam-sut.
Tiba-tiba tubuh raja itu bergerak, serangan Kwat Lin telah dapat dielakkan dan pada detik berikutnya, leher
dara itu tersentuh ujung batu karang dan dadanya juga tersentuh kepalan tangan kiri Han Ti Ong. Kwat Lin
menjerit lirih karena maklum bahwa kalau tusukan batu dan pukulan tadi dilanjutkan oleh Han Ti Ong tentu dia
telah roboh dan tewas seketika. Akan tetapi yang lebih mengejutkan hatinya adalah gerakan raja itu. "Paduka...
Paduka mengunakan jurus Hui-po-liu-hong (Air Tumpah Muncrat Pelangi Melengkung) dari Ngo-heng-kiam-sut
Bu-tong-pai!" Han Ti Ong tersenyum, "Persis sekali dengan seranganmu tadi, akan tetapi jauh lebih lihai karena
sekali serang berhasil, bukan? Nah, kalau engkau memiliki kesempurnaan dalam jurus ini tadi, bukankah mudah kau
mengalahkan musuhmu? Kwat Lin tertegun, akan tetapi dia masih belum puas. "Saya ingin mencoba lagi!" "Boleh,
boleh. kauseranglah aku sepuluh jurus yang paling lihai dan aku tanggung bahwa engkau akan kukalahkan dengan
jurusmu yang sama." Dengan pengerahan tenaga dan memilih jurus-jurus terampuh, Kwat Lin menyerang lagi, akan
tetapi setiap kali menyerang satu jurus, dia menjerit lirih karena benar saja, dia selalu dikalahkan oleh
jurusnya sendiri. Jurus itu digerakan oleh Han Ti Ong sedemikian aneh dan sempurnanya, demikian cepat dan
mengandung tenaga mujijat sehingga biarpun dia mengenal jurusnya sendiri, dia tidak sempat lagi mengelak atau
menangis! Setelah sepuluh kali dia terkena sentuhan ujung batu atau usapan tangan kiri lawan yang lihai ini dia
menjadi yakin, lalu menjatuhkan diri berlutut. "Saya menerima penawaran Paduka!" Ha Ti Ong memegang kedua
pundaknya dan mengangkatnya bangun berdiri. Mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan wajah raja itu
berseri melihat betapa wajah Kwat Lin menjadi merah sekali dan ada kedukaan hebat tersembunyi dibalik kemerahan
wajah karena malu itu. dengan mesra Han Ti Ong mengusap pipi halus kemerahan itu dan berkata lirih, "Aku tahu,
Kwat Lin. Peristiwa terkutuk menimpa dirimu membuat kau jijik terhadap pria dan muak terhadap hubungan antara
pria dan wanita. Akan tetapi, aku bukanlah pria yang mengutamakan hubungan badani saja, Kwat Lin. Aku akan
menghapus kejijikan dan kemuakan itu. Percayalah, aku cinta dan iba kepadamu. Keputusan yang kauambil ini tepat
sekali dan tidak akan mendatangkan sesal di kemudian hari. Mari,mari kita mengumumkan pernikahan kita. Semoga
engkau berbahagia." Han Ti Ong mencium dan mengecup mesra dan halus pinggir mata Kwat Lin, kemudian menggandeng
tangannya dan mengajaknya berjalan memasuki istana dari pintu belakang yang menembus ke "Taman" itu. Tentu saja
tidak ada kehebohan terjadi ketika Han Ti Ong mengumumkan keputusanya mengambil The Kwat Lin, sebagai istri ke
dua, sunguhpun hal ini mendatangkan bermacam-macam tanggapan dalam hati para penghuni Pulau Es. Pesta diadakan,
pesta yang sederhana saja tetapi cukup meriah. Sebagian besar penghuni Pulau Es bersuka cita dan mengharapkan
bahwa dari pernikahan ini, raja akan dikurniai seorang putera. Juga terjadi bermacam tanggapan di kalangan
keluarga raja. Ada kekecewaan akan tetapi ada pula harapan. Kecewa karena sekali lagi Raja Han Ti Ong mengambil
"orang luar" sebagai selir, akan tetapi timbul harapan karena mungkin melalui istri ke dua ini mereka dapat
"memukul" Liu Bwee yang mereka benci. Ternyata kemudian oleh Kwat Lin Bahwa semua ucapan yang dikeluarkan oleh
Raja Pulau Es itu ketika meminangnya bukan hanya bujukan kosong belaka. Raja itu benar-benar jatuh cinta
kepadanya dan hal ini terasa olehnya setelah dia menyerahkan dirinya menjadi selir Raja Han Ti Ong. Dengan
sepenuh jiwa raganya, Han Ti Ong mencurahkan kasih sayang kepadanya sedemikian besarnya sehingga lambat laun
dia pun jatuh cinta kepada suaminya ini. Dan dia yang tadinya hendak belajar ilmu silat sebagai dorongan
terutama dengan mengorbankan dan menyerahkan diri sebagai selir, setelah menerima pencurahan cinta kasih yang
amat mesra dan mendalam, mulailah berbalik pikir. Apalagi setelah sembilan bulan kemudian semenjak dia menjadi
selir, dia melahirkan seorang anak laki-laki. Kwat Lin merasa betapa hidupnya berubah sama sekali, kalau dulu
dia hanya seorang pendekar wanita yang seringkali menghadapi banyak kesengsaraan hidup, kini menjadi seorang
yang mulia dan terhormat, bahkan dia mendapat kenyataan bahwa suaminya benar-benar memiliki ilmu kepandaian
yang luar biasa tingginya! Timbullah keinginan hatinya untuk mengangkat diri menjadi permaisuri, dan dia merasa
berhak karena bukankah dia yang mempunyai keturunan laki-laki, dan selain menjadi permaisuri, juga menjadi
pewaris semua ilmu kesaktian dari Pulau Es. Kalau sudah demikian, baru dia akan mencari dan membunuh Pat-jiu
Kai-ong. Kebenciannya terhadap kakek iblis jembel itu kini menjadi tipis sekali. Memang kalau dipikir betapa
selama tiga hari tiga malam kakek itu mempermainkanya, merengut kehormatan dengan memperkosa secara amat
menghina akan tetapi ada segi lain yang membuat dia diam-diam berterima kasih kepada kakek itu. Kalau tidak ada
peristiwa hebat itu, agaknya selama hidupnya dia tidak akan dapat bertemu dengan Han Ti Ong, apalagi menjadi
istrinya dan sekaligus pewaris ilmu-ilmunya! Sin Liong belajar ilmu silat dengan tekun bersama suhengnya, Swat
Hong yang lincah jenaka.Dan mulai tampaklah bakatnya yang luar biasa. Tidak mengherankan kalau para tokoh
kang-ouw ingin memiliki bocah ini dan menjadikan Sin Liong sebagai bahan perebutan, karena dia pantas disebut
Sin-tong. Han Ti Ong sendiri yang merupakan manusia luar biasa dan memiliki kecerdasan yang disebut
Kwee-bak-put-bong (sekali melihat tidak bisa lupa lagi), diam-daim menjadi kagum sekali karena dia harus akui
bahwa dalam hal kecerdasan dan kekuatan pikiran, dia masih kalah oleh muridnya ini! Yang amat mengagumkan
hatinya adalah betapa di balik semua bakat yang luar biasa ini terpendam watak yang amat luar biasa, watak yang
penuh kehalusan, kelembutan dan kasih sayang dan iba terhadap orang lain yang amat mendalam, di samping watak
yang wajar seadanya. Benar-benar seorang bocah yang ajaib! Diam-diam Sin Liong mengerti bahwa diangkatnya Kwat
Lin menjadi istri Han Ti Ong, biarpun hal ini merupakan hal yang lumrah bagi seorang raja, namun akan
mendatangkan banyak ketidak baikan, terutama di pihak ibu sumoinya. Apalagi ketika dia melihat sikap dan
perubahan pada diri bekas pendekar wanita Bu-tong-pai itu Akan tetapi karena dia hanyalah seorang anak kecil
yang tidak tahu apa-apa dan yang sama sekali tidak berhak mencampuri "Urusan dalam" suhunya, maka tentu saja
dia hanya berdiam diri, hanya mengikuti perkembangan keadaan dengan hati tidak enak. Yang dikhawatirkan oleh
anak yang belum tahu apa-apa memang sungguh terjadi. Semenjak mengambil Kwat Lin sebagai isteri kedua, Liu Bwee
menderita tekanan batin yang amat hebat. Mula-mula tidak terasa olehnya ketika suaminya makin jarang bermalam
di dalam kamarnya karena hal ini dianggapnya limrah setelah suaminya memiliki isteri lain yang baru. Akan
tetapi perasaan kewanitaannya yang halus segera dapat menangkap kehambaran cinta kasih yang dicurahkan suaminya
kepadanya. Dan terutama sekali setelah The Kwat Lin mengandung, suaminya tidak pernah datang lagi menginap
dikamarnya, dan kalau sekali-sekali datang, tidak ada cumbu rayu dan kemesraan sama sekali, hanya untuk
menanyakan kesehatan dan agaknya suaminya datang hanya demi kesopanan belaka! Hati seorang wanita amatlah
halusnya, mudah tersinggung, mudah gembira, mudah marah, mudah berduka, mudah jatuh cinta dan mudah pula
membenci! Setelah Kwat Lin melahirkan seorang anak lakilaki, mulailah hati Liu Bwee digerogoti iri dan hal ini
mendatangkan kebencian hebat. Dia mulai merasa tersiksa batinya, merasa kesepian, rasa rindu yang makin
menghimpit terhadap belaian kasih sayang suaminya membuat Liu Bwee makin tersiksa, menambah kebenciannya
terhadap Kwan Lin yang makin dipuja suaminya itu. Liu Bwee bukan seorang wanita yang gila akan kedudukan. Dia
tidak mengejar kedudukan dan dia sama sekali tidak khawatir akan menurunya derajatnya apabila madunya itu
diangkat menjadi permaisuri karena mempunyai seorang putera. Akan tetapi Liu Bwee adalah seorang wanita yang
haus akan kasih sayang, maka dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan batinnya setelah cintanya disiasiakan
oleh suaminya yang telah jatuh di bawah telapak kaki Kwat Lin. Melihat penderitaan batin yang dialami oleh Liu
Bwee ini, diam-diam bersoraklah para keluarga raja. Bagi mereka, biarpun putera raja bukan keturunan dari
seorang ibu yang masih berdarah "agung" seperti mereka, namun masih lebih baik dari pada kalau dilahirkan oleh
seorang iu seperti Liu Bwee, hanya anak seorang nelayan Pulau Es rendah! Pula kebencian mereka yang terdorong
oleh iri hati terhadap Liu Bwee membuat mereka condong kepada Kwan Lin sehingga kelahiran Han Bu Ong, nama
putera itu, disambut dengan penuh kegembiraan oleh keluarga raja dan juga oleh semua penghuni Pulau Es sebagai
penyambutan terhadap lahirnya seorang putera raja yang akan menjadi pangeran mahkota! Tujuh tahun telah lewat
semenjak Sin Liong berada di Pulau Es. Dipandang begitu saja, agaknya keadaan Pulau Es dan kerajaan kecilnya
selam tujuh tahun itu tidak terjadi perubahan sesuatu, para penghuninya masih hidup dengan tenang dan tentram
penuh kedamaian seperti puluhan, bahkan ratusan tahun yang lalu. Raja Han Ti Ong tidak kalah bijaksana dalam
mengendalikan pemerintahan kecilnya sehingga para penghuni Pulau Es hidup bahagia, sedangkan
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi hanya sedikit sekali. Namun sesungguhnya terjadi perubahan yang amat besar
dan banyak! The Kwat Lin yang kini menjadi permaisuri, diangkat secara resmi oleh Han Ti Ong sehingga kedudukan
Liu Bwee tergeser menjadi istri selir, bukan hanya menjadi wanita pertama yang paling tinggi tingkat
kedudukanya, namun juga telah menjadi seorang wanita yang memiliki kesaktian hebat, hanya kalah oleh suaminya
dan beberapa tokoh lain di Pulau Es. Namun, hasratnya untuk membalas dendam terhadap Pat-jiu Kai-ong agaknya
telah lenyap sama sekali! Dia kelihatan hidup bahagia tenggelam dalam belaian penuh kasih sayang dari suaminya
dan melihat puteranya yang kini telah berusia enam tahun dan menjadi seorang anak laki-laki yang tampan dan
sehat biarpun tubuhnya agak kecil, sebagai pangeran, tentu saja Bu Ong digembleng oleh ayahnya sendiri sejak
kanak-kanak. Sin Liong telah memperoleh kemajuan yang mentakjubkan dan mengagumkan Han Ti Ong sendiri. Semua
ilmuyang diajarkan oleh raja itu, sekali dilatih dapat dilakukan dengan hampir sempurna! Tentu saja dalam waktu
beberapa tahun dia telah jauh melampaui tingkat kepandaian sumoinya, dan setelah dia berusia empat belas tahun,
Sin Liong telah jauh meninggalkan tingkat sumoinya. Bukan hanya dalam hal ilmu silat, akan tetapi juga dalam
ilmu sinkang dia maju pesat karena tanpa diperintah oleh suhunya, dengan tekun Sin Liong berlatih seorang diri
di bawah hujan salju yang amat dingin sehingga dia dapat menampung inti sari tenaga im-kang yang amat hebat.
Selain tekun mempelajari ilmu silat yang diturunkan oleh suhunya tanpa ada yang disembunyikan itu, Sin Liong
juga rajin sekali membaca kitab-kitab yang banyak terdapat didalam kamar perpustakaan istana. Dia dikenal oleh
semua ahli sastra di Pulau Es dan mereka ini amat kagum dan suka kepada Sin Liong melihat ketekunan bocah ajaib
ini. Tidak ada bosannya Sin Liong membaca kitab-kitab kuno dan setiap bertemu hurup baru yang tidak dikenalnya,
dia mencatatnya untuk kemudian ditanyakan kepada para ahli itu. Dengan cara demikian, biarpun tidak dibimbing
langsung, namun Sin Liong telah dapat memperkaya perbendaharaan kata-kata sehingga dia mampu membaca
kitab-kitab yang paling kuno di dalam perpustakaan itu. Kitab kuno tidaklah seperti kitab biasa, karena selain
huruf-hurufnya kuno, juga huruf-huruf itu mengandung arti yang amat mendalam. Karena inilah, maka kitab-kitab
yang amat kuno di pulau itu jarang atau hampir tidak pernah dibaca orang. Han Ti Ong sendiri segan membaca
kitab-kitab itu, karena selain sukar, juga isinya hanyalah sajak-sajak kuno yang dianggapnya tidak ada gunanya
dan melelahkan otaknya. Namun semua kitab itu "dilalap" semua oleh Sin Liong! Bukan ini saja, namun anak ajaib
ini dapat menemukan sesuatu yang tersembunyi didalam sajak-sajak itu! Dia menemukan rangkaian ilmu silat sakti
yang masih merupakan "rangka" terselubung di dalam huruf-huruf kuno yang sukar dimengerti itu, bahkan menemukan
pula ilmu yang masih dirahasiakan oleh Han Ti Ong, ilmu yang selama ratusan tahun mengangkat nama Pulau Es,
yaitu ilmu inti sari dasar gerakan semua ilmu silat. Dengan ilmu ini yang sudah dikuasainya, maka Han Ti Ong
dapat mengalahkan tujuh orang tokoh sakti dengan jurus-jurus, jurus ilmu silat mereka sendiri ketika Han Ti Ong
menolong Sin Long di jeng-hoa-sian. Kini, secara tidak disengaja, bahkan di luar kesadaran Sin Liong sendiri,
bocah ajaib ini telah menemukan ilmu itu "terselip" dan terselubung di antara sajak-sajak kuno yang kelihatanya
tidak ada gunanya itu. Selain memperoleh kemajuan hebat dalam ilmu silat, juga selama berada di Pulau Es, Sin
Liong memperoleh kesempatan memperdalam ilmunya mengenal daun dan tumbuhan obat dengan jalan menyelidikinya di
pulau-pulau kosong di sekitar Pulau Es. Dia memang mendapat tugas untuk mencari bahan-bahan obat di pulau-pulau
itu untuk kepentingan para penghuni Pulau Es, Dan dalam kesempatan melaksanakan tugasnya ini, Sin Liong tidak
menyia-nyiakan waktu untuk menyelidiki lebih banyak lagi tetumbuhan dan khasiatnya untuk kesehatan tubuh
manusia. Dengan adanya Sin Liong di Pulau Es, banyaklah sudah penghuni yang terhidar dari bahaya penyakit, dan
untuk ini, Han Ti Ong merasa berterima kasih sekali sehingga dia tidak segan-segan menurunkan ilmu pengobatan
tusuk jarum kepada muridnya itu. Selain Sin Liong, tentu saja Swat Hong sebagai puteri raja, juga memperoleh
kemajuan pesat dan dalam usia tiga belas tahun itu dia telah memilik ilmu kepandaian yang sukar dicari
tandinganya. Dengan demikian, hampir semua orang di Pulau Es memperoleh kemajuan masing-masing. Raja Han Ti Ong
memperoleh kebahagiaan cinta kasih dalam diri Kwat Lin yang telah menjadi permaisurinya. The Kwat Lin sendiri
yang tadinya mengalami malapetaka yang dianggapnya lebih hebat daripada kematian sendiri, telah memperoleh
banyak keuntungan, memperoleh cinta kasih yang mesra, kedudukan tinggi sekali, dan ilmu kepandaian yang amat
hebat pula. Hanya seorang saja yang sama sekali tidak memperoleh kemajuan lahir maupun batin yaitu Liu Bwee!
Dia menderita makin hebat, terutama batinnya karena semenjak beberapa tahun ini, suaminya sama sekali tidak
pernah lagi mendekatinya! Lenyaplah wataknya yang periang dan kini Liu Bwee lebih banyak mengurung dirinya di
dalam kamar, menyulam atau membaca kitab. Dia seolah-olah menjadi seorang pertapa dan biarpun wajahnya tidak
membayangkan sesuatu, masih tetap cantik manis dan pakaiannya selalu bersih, namun sesungguhnya hatinya terluka
dan selalu meneteskan darah, batinnya terhimpit dan terbakar oleh rindu yang tak kunjung henti, kehausan akan
belaian kasih sayang seorang pria yang tak pernah terpuaskan. Keadaan di dalam istana dengan adanya penderitaan
Liu Bwee, dengan adanya para anggauta keluarga istana yang masih menaruh benci kepadanya dan tidak melihat
kesempatan untuk menjatuhkan wanita ini karena Liu Bwee selalu bersikap diam dan tidak memperlihatkan sesuatu,
merupakan api dalam sekam yang setiap saat tentu akan berkobar atau meledak. Hal ini tidak saja dirasakan oleh
semua angauta keluarga raja, bahkan dirasakan pula oleh Sin Liong dan Swat Hong. Sering kali Sin Liong
kehilangan kejenakaan Swan Hong yang merupakan ciri khas dara ini. Kalau dia melihat dara itu termenung seorang
diri, dia menarik nafas panjang dan sekali waktu dia menegus, "Eh, Sumoi. Kenapa kau termenung dan wajahmu
suram? lihat, hari tidak sesuram wajahmu, sinar matahari mencairkan salju dengan cahaya yang keemasan!" Swat
Hong memandang pemuda itu dan menarik nafas panjang. "Betapa aku tidak tidak akan muram menyaksikan keadaan
yang begini dingin di dalam istana, Su-heng? Ayah memang masih biasa dan baik kepadaku, juga ibu baik kepadaku.
Akan tetapi antara Ayah dan Ibu seolah-olah terdapat jurang pemisah yang amat dalam. Tidak pernah lagi aku
menyaksikan keduanya beramah tamah dan bersendau gurau seperti dahulu lagi. Apakah karena Ibu Permaisuri...?"
"Ssst, Sumoi. Kita tidak mempunayi hak untuk bicara mengenai orang-orang tua itu. Hal itu adalah urusan mereka
sendiri." "Aku mengerti, Suheng. Akan tetapi aku melihat kedukaan hebat bersembunyi di balik senyum Ibu
kepadaku. Aku tahu betapa dia rindu kepada Ayah, rindu yang membuatnya seperti gila...." "Hushh...." "Aku tidak
membohong, Suheng. Seringkali aku mendengar Ibuku mengigau memanggil nama Ayah dan menangis dalam tidur. Ibu
selalu gelisah kalau tidur dan biarpun dia hendak menyembunyikannya dariku, namun aku tahu betapa Ibu menderita
sengsara batin yang hebat, menderita rindu yang menghancurkan batinnya...." Dara itu kelihatan berduka sekali,
kemudian berkata lagi, "Suheng, apa sih perlunya orang saling mencinta kalau akibatnya hanya mendatangkan rindu
dan kecewa?" "Itu bukan cinta, Sumoi, Ahh, kau takan mengerti dan semua orang takan mengerti karena sudah lajim
menganggap hawa nafsu sama dengan cinta. Hawa nafsu menuntut pemuasan, menuntuk kesenangan dan ingin
memilikinya untuk diri sendiri. Dan semua inilah yang menimbulkan kecewa dan duka, Sumoi." Sumoinya terbelalak.
"Aihh, kau bicara seperti kakek-kakek saja! Dari mana memperoleh filsafat macam itu, Suheng?" Karena tertarik,
dara yang mudah ini sudah melupakan kedukaanya dan menjadi riang gembira lagi, matanya memandang suhengnya
dengan berseri penuh godaan. "Dari... hemm, kukira dari kesadaran, Sumoi. Bukan filsafat. Aku sudah kenyang
membaca filsafat, dan apa artinya filsafat kalau hanya untuk diafal? Tidak ada bedanya dengan benda mati yang
hanya diulang-ulang, dipakai perhiasan, dijadikan alat untuk terbang melayang diawang-awang yang kosong.
Terlalu banyak kitab kubaca sudah, dan mungkin juga karena memperhatikan keadaan mendatangkan kesadaran." Dia
menarik napas panjang. "Suheng, kau tadi mencela aku yang kaukatakan murung. Akan tetapi aku juga seringkali
melihat engkau seperti orang berduka. Apakah kau tidak senang tinggal di Pulau Es?" "Aku suka sekali tinggal di
sini, Sumoi. Kurasa jarang terdapat tempat seindah ini, masyarakat setenteram ini. Akan tetapi, kalau aku
melihat hukuman-hukuman yang dibuang ke Pulau Neraka..." "Aih, hal itu bukan urusan kita, Suheng. Bukankah kau
tadi juga mengatakan bahwa urusan antara Ayah dan Ibu bukan urusanku? Maka urusan hukuman itu pun sama sekali
bukan urusan kita." Kau keliru, Sumoi. Urusan Ayah Bundamu memang merupakan urusan pribadi mereka. Akan tetapi
urusan orangorang terhukum adalah urusan umum, urusan kita juga. Aku merasa tidak senang sekali dengan adanya
peraturan itu. Aku akan berusaha untuk mengingatkan Suhu...." "Tapi Ayah seorang Raja, Suheng!" "Raja pun
manusia juga." "Tapi Raja hanyalah menjalankan hukum yang berlaku, Suheng." "Hukum pun buatan manusia. Benda
Mati!" Tiba-tiba terdengar suara tambur dipukul. Sejenak dua orang muda-mudi itu memperhatikan dan wajah Sin
Liong menjadi muram. "Nah, ada lagi sidang pengadilan yang akan menjatuhkan hukuman. Entah siapa lagi sekarang
yang melakukan pelanggaran. Mari kita lihat, Suheng!" Sin Liong digandeng tangannya oleh Swat Hong yang
menariknya ke arah bangunan di samping istana, bangunan yang dijadikan ruang sidang pengadilan di mana
dijatuhkan hukuman terhadap mereka yang melakukan pelanggaran-pelanggaran. Ketika mereka tiba di situ, banyak
sudah penghuni Pulau Es yang menonton diluar ruangan, dan tentu saja dua orang muda-mudi itu mudah untuk
memasuki ruang sidang dan duduk di atas kursi yang berderet di pinggiran. Ruangan itu luas sekali, lantainya
halus dan bersih. Isi ruang hanyalah sebuah meja panjang dan di belakang meja panjang ini terdapat lima buah
kursi dan di kanan kiri, di pinggir juga terdapat kursi-kursi, sedangkan di depan meja, di bagian tengah tetap
kosong. Pada saat Sin Liong dan Swat Hong tiba di ruangan itu, di belakang meja telah duduk hakim, yaitu
seorang kakek tua keluarga kerajaan yang biasa bertugas sebagai hakim, sedangkan di sebelah kanannya, di kursi
kebesaran, tampak duduk Han Ti Ong sendiri bersama permaisurinya. Hal ini merupakan keanehan karena biasanya
raja hanya datang tanpa permaisurinya dan duduk bersama dengan para pangeran lain. Agaknya permaisuri Raja Han
Ti Ong sekarang ini ingin pula melihat pengadilan dilakukan di Pulau Es. Para pesakitan yang sudah berlutut di
depan meja, di atas lantai, hanya tiga orang. Seorang lakilaki tinggi besar penuh brewok yang matanya lebar dan
gerak-geriknya kasar, seorang laki-laki muda yang tampan dan seorang wanita yang usianya empat puluhan, namun
masih cantik dan wanita ini berlutut di samping laki-laki muda yang kelihatan ketakutan, tidak seperti
laki-laki tinggi besar dan Si Wanita yang kelihatan tenang-tenang saja. Dengan suara lantang jaksa penuntut
membacakan tuntutan kepada laki-laki tinggi besar yang sudah berlutut ke depan setelah namanya dipanggil, yaitu
Bouw Tang Kui. Bouw Tang Kui telah berkali-kali diperingatkan karena sikapnya yang kasar, suka menggunakan
kepandaian menghina yang lemah dan suka mencuri. Terakhir ditangkap karena melakukan pencurian,mengambil batu
hijau mustika penyedot racun ular milik orang lain. Karena kejahatanya membahayakan Pulau Es, dapat menimbulkan
kekacauan dan permusuhan, maka hukuman yang paling berat patut dijatuhkan atas dirinya, selain untuk
memberantas kejahatan dari permukaan pulau juga sebagai contoh kepada semua penghuni pulau." Hening sejenak,
kemudian terdengar suara hakim tua yang lemah dan agak gemetar, "Bouw Tang Kui, kau sudah mendengar tuduhan
atas dirimu. Kau diperkenankan membela diri." Bouw Tang Kui yang berlutut itu memberi hormat kepada raja,
kemudian dengan suaranya yang kasar dan nyaring berkata,"Hamba mengaku telah melakukan perbuatan itu karena
hamba ingin memiliki mustika batu hijau. Hamba telah menerima banyak budi dari Sri baginda, kalau sekarang
dianggap berdosa, hamba siap menerima segala macam hukuman yang dijatuhkan kepada hamba." Hakim berfikir
sejenak, kemudian sambil mengetok meja dia berkata, "Pengadilan memutuskan hukuman buang ke Pulau Neraka kepada
Bouw Tang Kui." Suasana menjadi hening. Keputusan hukuman ini merupakan yang lebih hebat dari pada penggal
kepala. Banyak di antara mereka yang mendengarkan, menahan nafas dengan muka pucat, ada yang menaruh hati
kasihan kepada Bouw Tang Kui. Akan tetapi pesakitan itu sendiri setelah memandang kepada raja, lalu berkata,
suaranya penuh pahit getir, "Hukuman apa pun bagi hamba tidak terasa berat, yang terasa berat adalah bahwa
hamba dipaksa untuk memusuhi Pulau Es yang hamba cintai!" "Jadi engkau menerima keputusan hukuman?" hakim
bertanya. "Hamba mene...." "Nanti dulu!!" tiba-tiba terdengar suara nyaring dan Han Ti Ong sendiri mengangkat
muka memandang tajam ketika melihat Sin Liong telah berdiri dari kursinya dan mengeluarkan seruan itu. "Harap
Suhu dan para Cu-wi sekalian maafkan saya. Akan tetapi pesakitan berhak untuk dibela dan saya hendak
membelanya. Saudara Bouw Tang Kui ini dianggap berdosa dan memang dia telah melakukan pelanggaran. Akan tetapi
patutkah kalau kesalahannya itu lalu dijadikan tanda bahwa dia seorang jahat yang tidak bisa diampuni lagi?
Saya hendak bertanya, siapakah di antara Cu-wi sekalian yang tidak pernah melakukan kesalahan?" "Semua manusia
pasti pernah melakukan kesalahan dan karena kita semua manusia, maka kita pun tentu pernah melakukan kesalahan.
Siapakah yang mau kalau kesalahan yang dilakukannya itu lalu dijadikan tanda bahwa selamanya dia akan bersalah
atau berdosa, dan patut dihukum tanpa ampun lagi? Kesalahan yang dilakukan oleh Bouw Tang Kui adalah sebuah
penyelewengan biasa yang dilakukan oleh manusia yang berbatin lemah. Manusia yang berbatin lemah dan melakukan
penyelewengan sama saja dengan seorang yang sedang menderita semacam penyakit, hanya bedanya, yang sakit bukan
tubuhnya melainkan hatinya. Akan tetapi, setiap orang sakit bisa sembuh! Maka, menghukumnya dengan hukuman keji
itu sama dengan membunuhnya!" Hening sekali keadaan di situ setelah pemuda tanggung ini mengeluarkan
pembelaanya. "Akan tetapi di sini sudah diadakan hukum sejak ratusan tahun dan kita semua harus tunduk kepada
hukum!" kata Han Ti Ong ketika melihat betapa hakim ragu-ragu untuk menjawab. Dia maklum bahwa Sin Liong disuka
banyak orang di situ, dan selain ini, agaknya para pejabat itu juga sungkan mendebat karena pemuda itu adalah
murid raja. Karena inilah maka Han Ti Ong sendiri yang mengeluarkan suara membantah. "Harap Suhu memaafkan
teecu kalau teecu terpaksa mendebat. Saudara Bouw melanggar hukum yang dianggap berdosa, lalu menurut hukum
harus dibuang ke Pulau Neraka. Dari manakah timbulnya pelanggaran yang disebut dosa? Kalau tidak ada hukum,
mana mungkin ada dosa? Kalau tidak ada larangan, mana mungkin ada pelanggaran? Hukumlah yang menciptakan dosa
dan pelanggaran, hukum adalah keji karena hukuman yang dijatuhkan sebetulnya lebih kotor daripada dosa itu
sendiri! Kalau dia dianggap bersalah lalu dibuang ke Pulau Neraka, bukankah hal itu membuat dia menjadi makin
jahat dan mendendam? Andaikata seorang penderita sakit, penyakitnya menjadi makin parah! Apakah hukuman
pembuangan ke Pulau Neraka itu akan menginsafkannya? Suhu, sudah berkali-kali teecu menyatakan bahwa hukuman
seperti ini tidak patutu dilakuakan di Lebih baik menuntut mereka yang tersesat agar kembali ke jalan benar
dari pada menghukum mereka dengan kekerasan yang akan membuat meraka menjadi lebih jahat lagi." Kwat Sin Liong,
kau tak berhak untuk mencela hukum yang sudah menjadi tradisi kami! Hakim, lanjutkan persidangan dan pembelaan
yang dilakukan atas diri Bouw Tang Kui tidak dapat diterima!" bentak Han Ti Ong yang merasa tersinggung juga
mendengar betapa peraturan yang dijunjung tinggi selam ratusan tahun oleh nenek moyangnya itu kini disangkal
dan dicela oleh seorang bocah yang menjadi muridnya! Sin Liong menghela nafas dan terpaksa dia duduk kembali.
"Ssttt, kau terlampau berani...." Swat Hong berbisik. "Hemmm... tiada gunanya...." Sin Liong balas berbisik.
Suara jaksa yang lantang sudah memanggil nama dua orang pesakitan yang lain, laki-laki tampan dan wanita cantik
itu. Mereka maju dan berlutut di depan pengadilan. "Sia Gin Hwa dan Lu Kiat telah ditangkap karena melakukan
perjinaan. Karena Sin Gin Hwa telah menjadi istri syah dari Ji Hoat, maka perbuatan itu merupakan perbuatan
hina yang hamat berdosa, melanggar larangan keras yang telah disyahkan hukum. Karena itu, tidak ada pengampunan
baginya dan mohon pengadilan menjatuhkan hukuman terberat kepadanya. Adapun Lu Kiat, biarpun masih muda dan
belum beristri, namun dia telah berjinah dengan istri orang, maka dia pun harus dijatuhi hukuman yang layak.
Kemudian terserah kepada hakim." Wanita itu menundukan mukanya yang menjadi merah sekali ketika mendengar suara
mengejek dari mereka yang menonton di luar ruangan sidang, akan tetapi sikapnya masih tenang-tenang saja.
Adapun Lu Kiat, pemuda itu menjadi pucat wajahnya, akan tetapi dia juga menundukan mukanya, kelihatan gelisah
sekali. "Pengadilan memutuskan hukuman buang ke Pulau Neraka kepada Sia Gin Hwa dan hukuman rangket seratus
kali kepada Lu Kiat!" "Hamba tidak menerima!" Tiba-tiba Sia Gin Hwa berteriak. "Yang melakukan perjinaan adalah
hamba berdua, maka kalau dibuang pun harus hamba berdua!" "Tidak, hamba menerima hukuman rangket seratus kali!"
teriak pula Lu kiat. "Laki-laki apa kau ini? Ketika merayuku, kau berjanji akan bersama-sama menderita
andaikata dibuang ke Pulau Neraka!" Sia Gin Hwa memaki dan terjadilah ribut mulut antara mereka. "Diam!!"
Teriakan menggetarkan dari Han Ti Ong membuat mereka berdiri menjatuhkan diri mohon pengampunan. "Karena kalian
melakukan perbuatan yang memalukan sekali, menodakan nama baik Pulau Es, maka sepatutnya kalian berdua
sama-sama dibuang ke Pulau Neraka!" kata Raja itu dengan suara tenang namun penuh wibawa. Sia Gin Hwa memegang
tangan kekasihnya dan menangis sambil menciumi tangan itu, akan tetapi wajah Lu Kiat menjadi makin pucat.
Kembali Sin Liong bangkit berdiri. "Maaf, Suhu. Teecu terpaksa membantah lagi! Mereka memang telah melakukan
perbuatan yang melanggar hukum yang ada, akan tetapi apakah perbuatan mereka itu sudah demikian jahatnya maka
sampai mereka dihukum buang? Teecu kira di balik perbuatan mereka itu tentu ada sebab dan alasannya. Mereka
menjadi korban nafsu, akan tetapi kalau seoarang istri sampai melakukan penyelewengan, tentu pihak suami juga
ada kesalahannya. Tidak perlukah diselidiki mengapa wanita ini yang telah bersuami sampai berjina dengan pria
lain? Mengapa dia sampai tidak dapat menahan dorongan nafsu berahi? Tentu ada sebab-sebabnya." " Sin Liong,
engkau seorang bocah belum dewasa, tahu apa tentang nafsu berahi?" bentak gurunya, agak tertegun juga karena
dia mendapatkan kebenaran tersembunyi di balik bantahan muridnya itu. Terdengar suara ketawa ditahan di
sana-sini, bahkan permaisuri sendiri menahan senyumnya. "Teecu...teecu...mengerti dari kitab...." "Pembelaan
seorang anak yang belum dewasa terhadap perjinaan yang dilakukan orang dewasa tidak dapat diterima. Laksanakan
hukumannya dan buang mereka bertiga sekarang juga ke Pulau Neraka!" kata Han Ti Ong. Persidangan dibubarkan dan
tiga orang pesakitan itu lalu digiring keluar untuk dilaksanakan hukuman atas diri mereka, yaitu dibuang ke
Pulau Neraka, hukuman yang paling mengerikan dan paling di takuti oleh semua penghuni Pulau Es karena mereka
semua tahu bahwa di buang ke Pulau Neraka berarti hidup tersiksa dan sengsara, lebih hebat dari kematian!
Peristiwa seperti inilah yang membuat hati Sin Liong memberontak. Dia amat cinta dan kagum kepada suhunya, akan
tetapi peraturan hukum di Pulau Es ini dianggapnya terlalu kejam. Sebaliknya, Han Ti Ong yang maklum akan
kekecewaan hati muridnya yang dia kagumi dan cinta, berusaha menyenangkan hati muridnya itu dengan menurunkan
ilmu-ilmu simpanannya sehingga dalam waktu setahun lagi saja ilmu kepandaian pemuda yang berusia lima belas
tahun itu menjadi makin hebat. Boleh dibilang dialah orang satu-satunya yang menjadi pewaris ilmu-ilmu Pulau
Es. Biarpun Permaisuri juga mewarisi banyak ilmu dahsyat namun dibandingkan dengan Sin Liong dia kalah bakat
sehingga kalah sempurna gerakannya, apa lagi dalam hal tenaga sinkang dia kalah jauh. Hal ini adalah karena Sin
Liong adalah seorang yang pada dasarnya memiliki batin kuat dan tidak pernah terseret oleh nafsu, sebaliknya
The Kwat Lin adalah seorang wanita yang dibangkitkan nafsunya semenjak dia diperkosa oleh Pat-jiu Kai-ong.



Dan pada suatu hari terjadilah suatu hal yang sudah lama diduga-duga akan terjadi hal yang menjadi akibat
daripada keadaan yang ditekan-tekan di dalam istana yang dimulai dengan masuknya The Kwat Lin yang kini telah
menjadi permaisuri itu ke Pulau Es. Pagi hari itu, Sin Liong tengah duduk seorang diri di tempat yang menjadi
tempat kesukaannya bersama Swat Hong, yaitu di tepi pantai yang paling sunyi, pantai yang tak pernah tertutup
salju karena pasir berwana putih yang terjadi dari pecahan batu karang dan segala macam kulit kerang dan
kepompong itu seolah-olah selalu mengeluarkan hawa hangat. Selagi dia duduk termenung itu terdengarlah olehnya
suara tabur dipukul gencar, tanda bahwa pagi hari itu diadakan persidangan pengadilan yang amat penting, sidang
yang diadakan kurang lebih tiga bulan semenjak tiga orang pesakitan terakhir itu di buang ke Pulau Neraka.
Suara tambur itu seolah-olah menghantami isi dada Sin Liong, karena suara itu suara yang paling tidak
disukainya, suara yang menandakan bahwa akan ada orang lagi yang dihukum! Maka dia tidak bergerak, mengambil
keputusan tidak akan menonton karena menonton berarti hanya akan menghadapi hal yang menyakitkan hatinya. Akan
tetapi dia meloncat bangun ketika mendengar suara panggilan Swat Hong, suara panggilan yang lain dari biasanya
karena suara dara itu mengandung isak tangis yang mengejutkan. "Kwa-suheng...!!" Sin liong terkejut melihat
dara itu berlari-lari kepadanya sambil menangis dan dengan wajah yang pucat sekali. "Ada apakah, Sumoi?"
tegurnya sebelum dara itu tiba di depannya. "Suheng..., celaka... Ibuku..."Biarpun hatinya berdebar penuh kaget
dan kejut, Sin Liong bersikap tenang ketika di memegang kedua pundak Sumoinya dan bertanya, "Ada apakah dengan
Ibumu? Tenanglah, Sumoi." "Swat Hong menahan isaknya. "Mereka... mereka menangkap Ibuku dan membawanya ke
sidang pengadilan..." Sin Liong mengerutkan alisnya. Sudah keterlaluan ini, pikirnya. Rasa penasaran membuat
dia berlaku agak kasar. Digandengnya tangan Sumoinya, ditariknya dara itu dan dia berkata , "Mari kita lihat!"
Ketika dua orang itu tiba di ruangan pengadilan, mereka mendapat kenyataan bahwa keadaan berlainan sekali
dengan sidang pengadilan yang sudah-sudah karena suasana amat sunyi. Tidak ada seorang pun diperbolehkan
mendekati ruangan pengadilan, bahkan ketika Sin liong dan Swat Hong tiba disitu, mereka dihadang oleh beberapa
orang penjaga, "Maaf, atas perintah Sribaginda, tidak ada yang boleh memasuki ruang sidang pengadilan hari
ini." Kata mereka. Dengan kedua tangan di kepal, Swat Hong melompat maju, matanya melotot dan mukanya merah
sekali, "Apa kalian bilang? Kalian berani melarang aku memasuki ruangan? Apakah kalian sudah bosan hidup?" Sin
Liong cepat memegang lengan sumoinya karena dia maklum bahwa kalau sumoinya ini sudah marah, tentu akan hebat
akibatnya. Juga para penjaga itu mundur ketakutan karena mereka mengerti betapa lihainya Sang Puteri ini.
"Harap Saudara sekalian melaporkan kepada atasan Saudara bahwa kami akan memasuki ruang sidang," kata Sin Liong
dengan tenang kepada para penjaga. "Akan tetapi kami hanya mentaati perintah. Bagaimana kami berani melanggar?"
jawab kepala penjaga dengan muka bingung. "Aku tahu. Ibuku yang diadili, Bukan? Nah, dengar kalian! Apa pun
yang akan terjadi dengan ibuku, aku harus hadir, kalau perlu aku akan bunuh kalian semua agar dapat masuk!"
Kembali Swat Hong membentak. "Saudara sekalian harap mundur dan biarkan kami masuk. Akibatnya biarkan kami
berdua yang menanggungnya,"kembali Sin Liong berkata dan keduanya memaksa masuk. Para penjaga tidak ada yang
berani melarang akan tetapi mereka cepat-cepat lari untuk melapor kedalam. Han Ti Ong mengerutkan alisnya
ketika melihat Sin Liong dan Swat Hong memasuki ruang sidang, akan tetapi dia hanya mengangguk kepada para
penjaga yang kebingungan. Hal ini melegakan hati para penjaga dan mereka cepat-cepat meninggalkan ruangan itu
untuk menjaga di luar, karena mereka pun tidak boleh mendengarkan sidang yang sedang mengadili isteri raja!
Dapat dibayangkan betapa hancur hati Swat Hong melihat ibunya dengan tenang berlutut di depan meja pengadilan
bersama seorang laki-laki muda yang berpakaian sebagai pelayan dalam istana. Hatinya menduga dan dia merasa
ngeri karena melihat ibunya dan pemuda itu berlutut di situ, dia seolah-olah melihat Sia Gin Hwa dan Lu Kiat,
dua orang pesakitan yang saling berjinah itu! Akan tetapi dia tidak percaya! Tak mungkin ibunya...! Akan tetapi
dia menjadi lemas dan menurut saja ketika Sin Liong menariknya dan mengajaknya duduk dideretan kursi pinggiran
yang sekali ini sama sekali kosong. Di belakang meja panjang hanya duduk jaksa, hakim, Raja Han Ti Ong ,
permaisurinya, dan Han Bu Ong, bocah berusia delapan tahun yang mengenakan pakaian indah dan duduk dengan
agungnya di dekat ibunya, matanya memandang kearah Sin Liong dan Swat Hong dengan angkuh. Kemudian terdengarlah
suara nyaring Sang Jaksa, suara yang bagi telinga Swat Hong terdengar seperti sambaran pedang yang
menusuk-nusuk hatinya dan bagi Sin Liong seperti guntur di tengah hari! "Liu Bwee, sebagai bekas istri
Sribaginda, dari seorang anak nelayan biasa menjadi seorang mulia terhormat, ternyata membalas budi Sribaginda
dengan aib dan noda yang hina, telah ditangkap karena melakukan perjinahan dengan seorang pelayan muda. Dosa
ini amat besar karena selain menimbulkan aib dan malu kepada Sribaginda, juga kalau diketahui dunia luar akan
mencemarkan nama Kerajaan Pulau Es. Oleh karena itu, sepatutnya dia dijatuhi hukuman yang seberat mungkin."
"Bohong...! Ibu tidak mungkin...." Swat Hong menjerit dan hendak melompat maju menyerang jaksa yang berani
mengeluarkan ucapan menuduh ibunya seperti itu akan tetapi Sin Liong menangkap lengannya untuk mencegah
sumionya bergerak. "Swat Hong! Berani engkau kurang ajar di depan Ayah?" Terdengar Han Ti Ong membentak dengan
penuh wibawa. "Ayah, tuduhan itu fitnah belaka! Tidak mungkin ibu melakukan hal yang kotor itu. Mana buktinya?
Siapa saksinya?" kembali Swat Hong menjerit-jerit. "Hong-ji, jangan begitu. Ibumu tidak berdosa, akan tetapi
kita harus. tunduk kepada peraturan dan hukum, anakku.Tenanglah." Ucapan ini keluar dari mulut Liu Bwee yang
menoleh kearah Swat Hong, suaranya lirih dan jelas, namun mengandung kedukaan yang merobek hati. "Liu Bwee,
engkau telah mendengar tuduhan atas dirimu. Apakah pembelaanmu?" terdengar suara hakim tua itu dengan halus dan
lirih seperti biasanya, namun penuh wibawa karena dalam sidang ini, dialah orang yang paling kuasa. "Saya
tidakakan membela diri, hanya seperti dikatakan anakku tadi, agar tidak mendatangkan penasaran, harap suka
disebutkan siapa saksinya dan apa buktinya yang memperkuat tuduhan terhadap diriku," kata Liu Bwee dengan
tenang dan suara halus. Jaksa yang termasuk orang di antara anggauta keluarga raja yang tidak senang kepada Liu
Bwee karena dia dahulupun mengharapkan agar Han Ti Ong memilih anak perempuannya, segera berkata lantang,
"Buktinya? Engkau ditangkap ketika berada di dalam kamar dengan A Kiu, padahal dia bukanlah pelayanmu. Apalagi
yang kalian kerjakan kalau bukan berjinah? Seorang wanita dan seorang laki-laki yang tidak ada hubungan apa-apa
berada di dalam kamar berdua saja! selain itu, perjinahan kalian juga telah ada yang menyaksikan." Wajah Swat
Hong sebentar pucat dan sebentar merah. Tak dapat dia menahan kemarahanya. Ibunya dituduh berjinah dengan
seorang pelayan! "Bohong! itu bukan bukti!! Kalau memang ada yang menyaksikan, hayo siapa yang menyaksikan?"
teriaknya, tidak memperdulikan cegahan Sin Liong yang masih memegang lengannya karena khawatir kalau-kalau dara
ini mengamuk. "Akulah saksinya!" tiba-tiba terdengar suara kecil merdu dan Han Bu Hong telah bangkit berdiri
dengan sikap menantang. Mulut anak ini tersenyum mengejek dan matanya bersinar-sinar. "Enci Hong, akulah yang
telah melihat ibumu dan pelayan itu di atas ranjang...." "Ssssttt, diam...!" Permaesuri menarik puteranya. Akan
tetapi hakim telah berkata lagi, "Sudah terbukti kesalahan besar yang dilakukan Liu Bwee. Kesalahan paling
besar yang dapat dilakukan oleh seorang wanita..." "Nanti dulu!" Dengan muka pucat sekali Swat Hong memotong
kata-kata hakim. "Tidak adil kalau begini! kita belum mendengar keterangan A Kiu. Hai, A Kiu, aku percaya bahwa
engkau seorang manusia yang menjujur kegagahan, tidak mungkin seorang pria penghuni Pulau Es Seperti engkau
menjatuhkan fitnah sebagai seorang pengecut hina dina. Hayo ceritakan sesungguhnya apa yang terjadi!" Suara
Swat Hong ini nyaring sekali dan muka A Kiu menjadi pucat, kepalanya makin menunduk. Suasana menjadi hening dan
akhirnya terpecah oleh suara Raja, "A Kiu, kau diperkenankan untuk bicara!" Tubuh itu menggigil, muka yang
tampan itu pucat sekali ketika diangkat memandang Raja, kemudian melirik ke arah Liu Bwee yang masih bersikap
tenang dan agung berlutut di sebelahnya. Ketika dia melirik ke arah Swat Hong yang berdiri dengan sikap angkuh
memandang kepadanya, A Kiu mengeluh lirih, kemudian menelungkup dan berkata dengan suara mengandung isak,
"Hamba tidak berdaya... hamba memang berada di kamar itu... tapi... tidak seperti kesaksian Pangeran kecil...
hamba terpaksa karena..." "Berani kau mengatakan puteraku bohong?" Jeritan ini keluar dari mulut permaisuri dan
hawa pukulan yang dahsyat sekali menyambar ketika permaisuri menggerakan tangan kirinya ke arah A Kiu.
"Dess...! Aungghh...!" Tubuh A Kiu terlempar bergulingan dan rebah tak bernyawa lagi, dari mulut, hidung dan
telinganya mengalir darah. Hebat sekali pukulan jarak jauh yang di lakukan permaesuri itu, mengenai kepala A
Kiu yang tentu saja tidak kuat menahannya. Hakim dan jaksa saling pandang, sedangkan Raja menegur
Permaesurinya, "Kau terlalu lancang...." "Apakah aku harus diam saja kalau seorang rendah macam dia menghina
putera kita?" Permaesuri membantah dengan suara agak ketus. Raja diam saja dan menarik nafas panjang. Dia
merasa bingung dan berduka sekali harus menghadapi perkara ini, lalu memberi isyarat kepada hakim sambil
berkata, "Lanjutkan." Hakim menelan ludah beberapa kali, kemudian berkata lantang, " Saksi utama yang mejadi
pelaku perjinahan telah terbunuh karena berani menghina Pangeran. Akan tetapi dia mengaku telah berada di kamar
itu, maka sudah jelas dosa yang dilakukan oleh Liu Bwee. Karena itu sudah adil kalau dia harus dijatuhi hukuman
berat. Liu Bwee, pengadilan memutuskan hukuman buang ke Pulau Neraka kepadamu!" "Ibuuuu..!!" Swat Hong meronta
dan melepaskan diri dari Sin Liong, meloncat dan menubruk ibunya. "Sssst, tenanglah, Hong-ji...." ibunya
terbisik dengan sikap masih tenang saja, sungguhpun wajahnya kelihatan makin berduka. "Tenang? Tidak! ibu tidak
boleh dihina sampai begini!" Swat Hong lalu bangkit berdiri, menghadapi ayahnya dan berkata lantang, "ibuku
telah dijatuhi hukuman tanpa bukti dan saksi yang jelas. Akan tetapi keputusan telah dijatuhkan dan saya tidak
rela melihat ibu dibuang ke Pulau Neraka. Saya sebagai anak tunggalnya, yang takkan mampu membalas budinya
dengan nyawa, saya yang akan mewakilinya, memikul hukuman itu. Saya yang akan mejadi penggantinya ke Pulau
Neraka, maka harap Sribaginda bersikap bijaksana, membiarkan ibu yang sudah mulai tua ini menghabiskan usianya
di Pulau Es. Ibu, selamat tinggal!" "Hong-ji...!" ibunya memekik, akan tetapi Swat Hong sudah meloncat dan lari
keluar dari tempat itu dengan cepat. Sin Liong memandang dengan alis berkerut. Tak disangkanya hal yang sudak
dikhawatirkannya akan terjadi, sesuatu yang tidak menyenangkan, suatu yang akan meledak, ternyata sehebat ini.
"Hong-ji... ah, Hong-ji, Anakku...!" Liu Bwee tak dapat menahan lagi tanggisnya. Dia maklum bahwa untuk
mengejar anaknya dia tidak mungkin dapat karena kepandaian puterinya itu sudah tinggi sekali, juga dia sebagai
seorang pesakitan, tentu saja tidak berani melanggar hukum dan lari dari tempat itu. "Aduh, anakku... Swat
Hong... Swat Hong... apa yang mereka lakukan atas dirimu...?" ibu yang hancur hati ini meratap. Hakim menjadi
bingung dan beberapa kali menoleh kearah Raja seolah-olah hedak minta keputusan Han Ti Ong. Raja ini menggigit
bibir, jengkel dan marah karena tak disangkanya bahwa urusan akan berlarut-larut seperti ini. Ketika dia
menerima laporan tentang istri pertamanya, Liu Bwee, yang berjinah dengan seorang pelayan muda, hatinya panas
dan marah sekali. Akan tetapi dia masih hendak membawa perkara ini kepengadilan agar diambil keputusan yang
seadil-adilnya. Siapa mengira terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya. Permaisurinya membunuh pelayan
muda, kemudian kini Swat Hong membela ibunya, bahkan menggantikan ibunya "membuang diri" ke Pulau Neraka. maka
kini,melihat betapa hakim menjadi bingung dan minta keputusannya, dia memukulkan kepalan kanan ke telapak kiri
sambil berkata, " Sudahlah, sudahlah! Biar kupenuhi permintaan Swat Hong. Anak yang keras kepala itu sudah
menggantikan ibunya ke Pulau Neraka. Sudah saja! Aku perkenankan Liu Bwe tinggal terus disini!" Setelah berkata
demikian, dia menggandeng tanggan Bu Ong dan permaisurinya, bangkit berdiri dan hendak meninggalkan tempat yang
tidak menyenangkan itu. Akan tetapi Liu Bwee juga bangkit berdiri dan wanita ini berkata lantang, sambil
menatap wajah suaminya dengan mata tajam. "Biarpun anakku telah menebus dosa yang tidak kulakukan, dan aku
telah diperbolehkan tinggal di sini, akan tetapi apa artinya hidup disini bagiku setelah anakku pergi ke Pulau
Neraka? Tidak, aku tidak akan sudi tinggal di sini lagi. Aku mulai saat ini tidak menganggap diriku sebagai
penghuni Pulau Es. Aku juga mau pergi dari sini!" Setelah berkata demikian, Liu Bwee lalu meloncat dan pergi.
Setelah dia bukan pesakitan lagi, setalah dia bukan terhukum, dia berani pergi, bahkan dengan sikap tidak
menghormat lagi kepada Raja yang pernah menjadi suami dan pujaan hatinya selama bertahun-tahun itu. "Hmm,
sesukamulah!' kata Han Ti Ong perlahan dan dengan wajah muram raja ini memasuki istana bersama permaisuri dan
Pangeran Bu Ong. Sampai ruangan persidangan itu kosong dan mayat A Kiu dibawa pergi, Sin Liong masih duduk di
situ. Di dalam hatinya, dia merasa menyesal melihat sikap Raja Han Ti Ong, gurunya yang di cintainya itu.
Tahulah dia bahwa perubahan pada diri gurunya itu terutama sekali terjadi karena hadirnya The Kwat Lin yang
kini telah menjadi permaisurinya. Diam-diam dia merasa menyesal sekali. Bukankah dia sendiri yang dahulu minta
kepada gurunya membawa pendekar wanita Bu-tong-pai itu ke Pulau Es? Kini, wanita itu menjadi selir gurunya, dan
setelah The Kwat Lin menjadi permaisuri, kebahagiaan ibu Swat Hong menjadi musna! Bahkan kini berekor seperti
ini, dengan larinya Swat Hong menggantikan ibunya ke Pulau Neraka sedang ibu dara itu sendiri pergi entah ke
mana! Dialah, langsung atau tidak bertanggung jawab. Akan tetapi, tidak mungkin dia menegur gurunya, Juga
permaisuri tidak dapat dipersalahkan. Betapapun juga, dia harus memperlihatkan tanggung jawabnya atas kerusakan
hidup Swat Hong dan ibunya. Kalau dia mendiamkan saja, seolah-olah dia ikut pula persekutuan untuk merusak
hidup ibu dan anak itu. "Pulau Neraka kabarnya merupakan tempat berbahaya sekali. Aku harus menyusul Swat Hong
dan melindunginya." Demikian dia mangambil keputusan dalam hatinya dan dia tidak lagi berpamit kepada gurunya
karena maklum gurunya sedang berada dala kedukan dan kepusingan. Pula, Sin Liong sudah biasa meninggalkan pulau
itu mencari tetumbuhan obat, maka kepergiannya dengan sebuah perahu menunggalkan Pulau Es tidak ada yang
menaruh curiga. Dengan tenaganya yang amat kuat Sin Liong mendayung perahunya sehingga perahu meluncur amat
cepatnya menuju ke Pulau Neraka. Dia sudah tahu dimana letaknya pulau itu, dari keterangan yang diperolehnya
ketika dia bertanya-tanya kepada para penghuni Pulau Es Bahkan diam-diam pernah pula seorang diri mendayung
perahu mendekati Pulau Neraka ini akan tetapi hanya melihat dari jauh dan dia merasa ngeri sekali. Pulau itu
dari jauh tampak kehitaman seperti pulau yang pantas di huni oleh setan dan iblis.Pantainya penuh dengan
batu-batu karang yang runcing dan tajam, amat berbahaya apalagi kalau ombak sedang besar. Sama sekali tidak
tampak ada penghuninya sehingga ketika itu Sin Liong menduga-duga bahwa orang-orang buangan yang dibuang dari
Pulau Es tentu telah tewas di jalan, tentu tewas di atas pulau itu. Maka dia menentang keras dalam hatinya
kalau melihat di Pulau Es diadakan pengadilan dan diputusakan hukuman buang ke Pulau Neraka, karena baginya,
dibuang ke Pulau Neraka sama dengan menghadapi kematian yang mengerikan, baik di dalam perjalanan menuju ke
pulau itu atau setelah berasil mendarat. Dan kini Swat Hong telah pergi ke Pulau Neraka mewakili ibunya! Dia
kagum dan khwatir. Kagum akan keberaniannya dan kebaktian sumoinya terhadap ibunya, akan tetapi khawatir sekali
akan keselamatan sumoinya yang belum dewasa benar itu. Sumoinya baru berusia empat belas tahun! Biarpun dia
tahu bahwa ilmu kepandaian sumoinya sudah hebat dan cukup untuk dipakai untuk menjaga diri, namaun betapapun
juga sumoinya itu masih kanak-kanak! Sin Liong sama sekali tidak ingat bahwa usianya sendiri hanya satu tahun
lebih tua dari pada usia Swat Hong! Perjalanan dari Pulau Es ke Pulau Neraka melalui lautan yang penuh dengan
gumpalan-gumpalan es yang mengapung di permukaan laut, gumpalan es yang kadang-kadang sebesar gunung dan
celakalah kalau sampai perahu tertumpuk oleh gumpalan es menggunung itu yang kadang-kadang bergerak, digerakkan
oleh angin. Celaka pula kalau sampai terjepit di antara dua gumpalan es yang begitu saling menempel tentu akan
melekat dan membuat perahu terjepit di tengah-tengah. Akan tetapi, Sin Liong sudah banyak mendengar tentang ini
maka dia tahu pula caranya menghindarkan perahunya dan tidak mendekat gumpalan-gumpalan es yang berbahaya,
melainkan mencari jalan di celahcelah yang agak lebar. Kemudian dia tiba di daerah lautan yang penuh dengan
ikan hiu. Ratusan ikan hiu yang hanya tampak siripnya itu berenang di kanan kiri dan belakang perahunya.
Betapapun juga tinggi ilmunya, ngeri juga hati Sin Liong karena dia tahu bahwa sekali perahunya terguling,
kepandaianya tidak akan berguna banyak dalam melawan ratusan ikan buas itu di dalam air! Cepat ia mengeluarkan
bungkusan yang sudah dibawanya sebagai bekal, membuka bungkusan dan menaburkan sedikit bubuk hitam di kanan
kiri, depan belakang perahunya. Tak lama kemudian, ikan-ikan hiu itu pergi berenang pergi dengan cepat seperti
ketakutan setelah mencium bau bubukan hitam yang disebarkan oleh Sin Liong. Pemuda ini sudah mendengar akan
bahaya ikan-ikan buas, maka dia telah membawa bekal racun bubukan hitam yang sering kali dipergunakan oleh para
penghuni Pulau Es untuk mengusir ikan-ikan buas di waktu mereka mencari ikan. Beberapa jam kemudian, kembali
dia menghadapi ancaman ikan-ikan kecil yang banyak sekali jumlahnya, mungkin laksaan. Ikan-ikan besar ibu jari
kaki, akan tetapi keganasannya melebihi ikan hiu. Ikan-ikan ini bahkan berani menyerang orang di atas perahu
dengan jalan meloncat dan menggigit. Sekali mulut yang penuh gigi runcing seperti gergaji itu mengenai tubuh,
tentu sebagian daging dan kulit terobek dan terbawa moncongnya! Apalagi kalau sampai orang jatuh ke dalam air.
Dalam waktu beberapa menit saja tentu sudah habis tinggal tulangnya dikeroyok laksaan ikan buas ini. Kembali
Sin Liong dengan cepat menyebar obat bubuk hitam beracun itu dan ikan-ikan kecil itupun lari cerai berai tidak
berani lagi mendekati sampai perahu meluncur meninggalkan daerah berbahaya itu. Setelah melalui perjalanan yang
amat sulit akhirnya menjelang senja, sampai juga perahu Sin Liong di pantai Pulau Neraka. Tetapi seperti
dugaannya, pulau itu memang mengerikan sekali. Hutan yang terdapat di pulau itu amat besar dan liar,
pohon-pohon aneh dan menghitam warnanya memenuhi hutan yang kelihatannya sunyi dan mati. Namun, dibalik
kesunyian itu Sin Liong merasakan seolah-olah banyak mata mengamatinya dan maut tersembunyi disana-sini, siap
untuk mencengkram siapa pun yang berani mendarat! Melihat keadaan pulau ini makin berdebar hati Sin Liong,
penuh kekhawatiran terhadap keselamatan Swat Hong. Apakah dara itu sudah berasil mendarat? Tentu Swat Hong
dapat mencapai pulau ini, karena dara itupun tahu jalan ke situ, dan mengerti pula tempat-tempat berbahaya yang
dilaluinya tadi sehingga seperti juga dia, tentu Swat Hong telah membawa bekal obat pengusir ikan-ikan buas
tadi dengan cukup. Akan tetapi dia tidak melihat sebuah pun perahu di pantai Pulau Neraka. Apakah ada
penghuninya? Atau semua orang buangan telah mati terkena racun yang kabarnya memenuhi pulau ini? Karena
khawatir kemalaman sebelum dapat menemukan Swat Hong, Sin Liong lalu meloncat ke darat dan menarik perahunya ke
atas. Kemudian dia membalik dan memasuki hutan. Baru saja dia berjalan beberapa langkah, terdengar suara
berdengung-dengung dan entah dari mana datangnya, tampak ratusan ekor lebah berwarna putih menyambar-nyambar
dan mengeroyoknya! Dari bau yang tercium olehnya, tahulah Sin Liong bahwa lebah-lebah itu mengandung racun yang
amat jahat maka tentu saja dia terkejut sekali! Cepat dia lari dari tempat itu, namun lebah-lebah itu mengejar
terus, beterbangan sambil mengeluarkan suara berdengung-dengung yang mengerikan. Sin Liong cepat menanggalkan
jubah luarnya dan memutar jubah itu di sekeliling tubuhnya. Dari putaran jubah ini menyambar angin dahsyat dan
lebah-lebah itu terdorong jauh oleh hawa yang menyambar dari putaran jubah.Sin Liong tidak tega untuk membunuh
lebah-lebah itu maka dia hanya menggunakan hawa putaran jubahnya untuk mengusir. namun, binatang-binatang kecil
itu hanya tidak mampu mendekati dan menyerang tubuh Sin Liong, akan tetapi sama sekali tidak terusir, bahkan
kini makin banyak dan terbang mengelilingi Sin Liong dari jarak jauh sehingga tidak terjangkau oleh hawa
pukulan jubah. Melihat ini, Sin Liong kaget. betapapun kuatnya tidak mungkin baginya untuk berdiri di situ
sambil memutar jubahnya semalam suntuk, bahkan selamanya sampai lebah-lebah itu terbang pergi! Lalu teringatlah
dia akan senjata yang paling ampuh. Api! Dengan tangan kiri terus memutar jubah melindungi tubuhnya, Sin Liong
lalu mengumpulkan daun kering dan mencari batu yang keras. Dengan pengerahan tenaganya, dia menggosok dua batu
itu sehingga timbul percikan bunga api yang membakar daun kering. Diambilnya sebatang ranting kering dan
dibakarnya ranting ini. Benar saja. Dengan ranting yang ujungnya menyala ini dipegang tinggi di atas kepala,
tidak ada lebah yang berani mendekatinya. Dia melanjutkan perjalanan, dan terus menerus menyalakan api diujung
ranting yang dikumpulkan dan dibawanya. Dapat dibayangkan betapa ngeri hatinya ketika melihat banyak sekali
binatang berbisa di sepanjang jalan. Ular-ular kecil, kalajengking, lebah-lebah dan sebangsanya merayap-rayap
lari ketika dia datang dengan obor di tangan. Untung dia membawa ranting bernyala. Semua binatang berbisa itu
takut terhadap api. Andaikata dia tidak membawa api tentu dia telah dikeroyok oleh binatang-binatang kecil yang
semuanya berbisa itu, dari atas dan bawah! lebah-lebah itu terus mengikutinya, akan tetapi dari jarak jauh,
terbukti dari suara yang berdengung-dengung itu masih terus berada di belakangnya. Tiba-tiba terdengar suara
bersuit panjang dan lebah-lebah itu beterbangan makin dekat, kembali mengurungnya dan kelihatan seperti marah.
Bahkan ada beberapa yang ekor yang meluncur dekat sekali, akan tetapi menjauh lagi ketika Sin Liong menggunakan
api di ujung ranting untuk mengusirnya. Suitan terdengar berkali-kali dan lebah-lebah itu makin marah dan
mengamuk, juga tampak oleh Sin Liong betapa binatang kecillainya yang banyak terdapat di hutan itu mulai
mendekatinya, namun masih takut-takut oleh api di ujung ranting. "Siuuuttt..." tiba-tiba tampak benda hitam
menyambar kearah ujung rantingnya. Maklumlah Sin Liong bawa sambitan yang amat kuat itu bermaksud memadamkan
api di ujung ranting. Tentu saja dia tidak mau terjadi hal ini, maka cepat ia menari kebawah ranting terbakar
itu dan menggunakan tangan kirinya menyambar benda yang dilontarkan. Kiranya segumpal tanah hitam! Mengertilah
dia bahwa ada orang yang membokonginya dan orang itu agaknya yang besuit-suit tadi. Suitan yang agaknya
merupakan perintah kepada binatang-binatang itu untuk mengeroyoknya! "Haiiii, Saudara penghuni Pulau Neraka!
Harap jangan menyerang. Aku Kwa Sin Liong datang dengan maksud baik! Aku hanya mau mencaru Sumoiku di sini!"
Hening sejenak. Suitan-suitan tidak terdengar lagi dan lebah-lebah itu kembali menjauh, demikian ular, kelabang
dan lain binatang kecil. Terdengar bunyi tampak kaki menginjak daun-daun kering dan tak lama kemudian muncullah
belasan orang yang bertelanjang kaki, berpakaian tidak karuan, bermuka menyeramkan itu kotor tidak terawat,
mata mereka merah dan bergerak liar seperti mata orang-orang gila. Dengan gerakan perlahan, pandang mata penuh
juriga, belasan orang itu menghampiri dan mengurung Sin Liong. Pemuda itu tersenyum ramah, bersikap tenang dan
mengangkat ranting menyala tinggi-tinggi untuk memperhatikan wajah mereka. "Harap Cuwi (Anda Sekalian) sudi
memaafkan kedatanganku yang tiba-tiba ini. Akan tetapi sungguhnya aku, Kwa Sin Liong, tidak berniat buruk
terhadap Pulau Neraka apalagi terhadap penghuninya. Aku datang untuk mencari sumoiku yang bernama Han Swat
Hong, yang mungkin sudah mendarat di pulau ini." Seorang di antara mereka, yang mukanya penuh brewok sehingga
yang tampak hanya matanya dan sedikit hidungnya, melangkah maju dan menegur, suaranya parau dan kasar. "kau
dari mana?" "Dari Pulau Es...." Belasan orang itu mendengus dan kelihatan marah sekali. Si Brewok mengangkat
tinggi senjata golok besarnya dan membentak, "kalau begitu kau harus mampus!" "Nanti dulu, harap Cuwi
bersabar." Sin Liong cepat berseru dan mengangkat tangan kirinya ke atas, "Aku bukan musuh dari Cuwi, sudah
kukatakan bahwa aku datang bukan untuk bermusuh, mengapa Cuwi hendak membunuhku?" Pada saat itu, muncul pula
lima orang, dan terdengar seruan heran dari seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar, "Ehh,
bukankah ini Kwa-kongcu dari Pulau Es?" Sin Liong memandang dan merasa girang sekali ketika mengenal orang itu
yang bukan lain adalah Bouw Tang Kui, penghuni Pulau Es yang dihukum buang ke Pulau Neraka karena telah mencuri
batu mustika hijau! "Bouw-lopek!" serunya girang. "Aku datang untuk mencari Swat Hong yang juga sudah dibuang
ke sini!" "Apa??" Bouw Tang Kui berteriak, lalu berkata kepada Si Brewok yang agaknya menjadi pemimpin
rombongan itu. "Dia adalah seorang yang telah membelaku, membela Lu Kiat dan Sia Gin Hwa ketika dijatuhi
hukuman buang. Dia seorang pemuda yang tak setuju dengan hukum di Pulau Es, biarpun dia adalah murid Raja Han
Ti Ong sendiri." "Apa...??" Mereka kelihatan terkejut mendengar ini. "Muridnya...?" "Benar," jawab Bouw Tang
Kui. "Dan kita bukanlah lawanya." Si Brewok meragu. "Kalau begitu, kita bawa dia kepada To-cu (Majikan Pulau)!"
Bouw Tang Kui melangkah maju. "Harap Kongcu menurut saja kami hadapkan kepada To-cu sehingga Kongcu dapat
bicara sendiri dengannya." Sin Liong mengangguk. Memang menghadapi orang-orang kasar ini akan berbahaya sekali
karena mereka sukar diajak bicara. Kalau dia dapat bicara dengan Majikan Pulau yang tentu merupakan tokoh yang
paling pandai, dia akan dapat minta keterangan apakah Swat Hong telah berada di pulau itu. Dia mengangguk dan
beberapa orang penghuni Pulau Neraka lalu menyalakan obor. Sin Liong sendiri membuang rantingnya, mengenakan
lagi jubahnya dan mengikuti rombongan belasan orang itu memasuki hutan. Di sepanjang jalan dia melihat
tempat-tempat berbahaya, lumpur-lumpur yang tertutup rumput tinggi, pasir-pasir berpusing yang dapat menyedot
apa saja yang menginjaknya, pohonpohon yang aneh dengan buah-buah yang kelihatan lezat namun dari baunya dia
tahu bahwa buah itu mengandung racun jahat, dan lain-lain. Benar-benar pulau yang amat aneh dan berbahaya,
fikirnya. Pantas kalau disebut Pualu Neraka, dan diam-diam dia mencela kekejaman Kerajaan Pulau Es yang
membuang orang-orang bersalah ke tempat seperti ini. Dari keadaan orang-orang yang menangkapnya ini, hanya Bouw
Tang Kui seorang yang kelihatan masih normal. Hal ini mungkin karena raksaksa ini baru beberapa bulan saja
dibuang ke sini, sedangkan yang lain-lain, biarpun dapat mempertahankan hidupnya, namun telah berubah menjadi
orang-orang liar yang agaknya telah berubah pula watak dan ingatanya! Dan selain menjadi orang-orang yang tidak
normal agaknya mereka telah menguasai ilmu yang dahsyat dan mengerikan, yaitu ilmu menguasai binatang-binatang
berbisa di pulau itu. Buktinya, biarpun meraka berjalan di hutan penuh binatang berbisa itu tanpa sepatu tidak
ada seekor pun yang berani menyerang mereka. Akhirnya dengan menggunakan ketajaman pandang mata dan penciuman
hidungnya Sin Liong maklum bahwa orang-orang ini telah menggunakan semacam obat yang agaknya digosok-gosokan ke
seluruh kaki mereka sehingga binatang itu menyingkir begitu mereka mendekat. Tak disangkanya sama sekali,
ketika mereka tiba di tengah jalan, di situ terdapat tanah lapang yang luas dan tampak sebuah rumah besar,
dikelilingi pondok-pondok kayu sederhana. lampu-lampu dinyalakan terang dan Sin Liong dibawa ke sebuah ruangan
yang luas di mana telah menanti ketua pulau itu yang disebut To-co (Majikan Pulau). Ruangan itu luasanya lebih
dari sepuluh meter persegi, dikelilingi banyak orang yang memegang bermacam senjata dan yang sikapnya semua
penuh curiga dan permusuhan, kecuali Bouw Tang Kui, Sia Gin Hwa, Lu Kiat dan belasan orang lagi yang belum lama
dibuang kesitu sehingga mereka ini mengenal Sin Liong sebagai murid Han Ti Ong yang selalu baik kepada mereka,
bahkan banyak di antara mereka yang pernah diobati oleh pemuda ini. "Hayo berlutut di depan tocu!" kata Si
Brewok sambil mendorong Sin Liong ke depan. Akan tetapi Sin Liong dengan tenang berdiri di depan To-cu itu dan
memandang penuh perhatian. Orang ini sudah tua, sedikitnya tentu ada enam puluh tahun usianya. Kepalanya besar
sekali, tubuhnya kurus kecil sehingga kelihatan lucu, seperti seekor singa jantan yang duduk di kursi! Sepasang
matanya bersinar-sinar, mulutnya menyeringai. Sebetulnya wajahnya tampan, akan tetapi karena sikapnya yang
ganas itu membuat wajahnya kelihatan menyeramkan dan menakutkan. Pakaiannya tidak seperti pakaian sebagian
besar penghuni Pulau Neraka yang butut, melainkan pakaian dari kain yang baru dan bersih. Kursinya terbuat dari
tulang-tulang berukir, dan di kedua lengan kursinya dihiasi dengan rangka ular dengan moncongnya ternganga
lebar memperlihatkan gigi yang runcing melengkung. Di sebelah kana ketua Pulau Neraka ini duduk seorang anak
perempuan yang tadinya hampir membuat Sin Liong salah kira. Anak itu usianya sebaya dengan Swat Hong, seorang
anak perempuan yang cantik dan tersenyum-senyum, sikapnya kelihatannya gembira dan mungkin karena sebaya maka
kelihatanya mirip dengan Swat Hong. Hampir saja Sin Liong tadi memanggilnya ketika mula-mula memasuki ruangan.
Ketika melihat betapa pemuda tawanan itu memandangnnya penuh perhatian, anak perempuan itu tersenyum-senyum.
Melihat Sin Liong tidak mau berlutut di depannya, kakek itu memandang tajam, kemudia berkata berlahan, suaranya
rendah, "Hemmm, kau tidak mau berlutut, ya? Hendak kulihat kalau kedua lututmu patah, kau berlutut atau tidak?"
Berkata demikian, tiba-tiba tangan kakek itu menyambar sebatang toya dari tangan seorang penjaga, menekuk toya
itu sehingga patah tengahnya dan sekali dia menggerakan tangan, sepasang potong toya itu menyambar ke arah
kedua kaki Sin Liong! Pemuda itu terkejut, akan tetapi bersikap tenang. Dia maklum bahwa ketua Pulau Neraka itu
bermagsud menggunakan lemparan tongkat untuk membikin sambungan lututnya terlepas. Maka dia cepat menggerakan
kedua kakinya, meloncat ke atas, kemudian setelah melihat kedua toya berkelebat ke bawah kaki dia menggunakan
kedua kakinya menginjak. Sepasang tongkat pendek itu menancap di atas lantai dan pemuda itu berdiri di atas
kedua ujung tongkat dengan tubuh tegak dan bersikap seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu! "Waduhhh, dia hebat
sekali, kong-kong (Kakek)!" anak perempuan yang tadi tersenyum-senyum itu besorak penuh kagum, padahal anak
buah Pulau Neraka memandang marah karena mengangap bahwa pemuda itu mengejek ketua mereka. "Hebat apa!
Permainan kanak-kanak seperti itu!" Kakek berkepala besar itu mendengus marah. "Kong-kong juga bisa? Ajarkan
aku kalau begitu!" anak prempuan itu berkata dengan sikap dan suara manja. "Hushh! Diamlah kau!" kakek itu
membentak dan sejak tadi matanya tidak pernah berpindah dari Sin Liong. Dibentak seperti itu, anak perempuan
itu cemberut dan mukanya merah, menahan tangis. Sin Liong merasa kasihan lalu meloncat turun dan berkata
menghibur, "Adik yang manis, jangan berduka. Biarlah kalau ada kesempatan aku akan mengajarkannya kepadamu."
Anak perempuan itu memandang Sin Liong dengan mata terbelalak, kemudian lenyaplah kemuraman wajahnya yang manja
menjadi berseri-seri kembali. "Orang muda yang bersikap dan bermulut lancang! Siapa engkau yang mengandalkan
sedikit kepandaian untuk mengacau Pulau Neraka?" Kakek itu membentak, menahan kemarahannya karena dia merasa
direndahkan sekali ketika serangan sepasang tongkatnya tadi gagal dan dihadapi oleh pemuda itu secara luar
biasa. Sin Liong cepat memberi hormat dengan menjura dalam-dalam, kemudian dia berkata dengan suara tenang,
"Harap To-cu suka memaafkan kedatanganku ke Pulau Neraka ini. Seperti telah kukatakan kepada semua penghuni
Pulau Neraka kedatanganku sama sekali tidak mengandung niat buruk atau hendak bermusuhan. Aku bernama Kwa Sin
Liong dan ...." "Dia murid Han Ti Ong!" tiba-tiba Si Brewok berkata lantang. Ucapan ini disambut dengan suara
berisik dari semua oang yang berada di situ karena mereka sudah menjadi marah sekali. Semua orang yuang berada
disitu adalah orang-orang buangan dari Pulau Es, semenjak raja pertama sehingga sudah tinggal disitu selama
tiga keturunan, ada orang buangan baru dan ada pula yang merupakan turunan dari orang-orang buangan lama, akan
tetapi kesemuanuya mempunyai rasa benci dan dendam pada satu nama, yaitu Pulau Es! Maka begitu mendengar pemuda
tampan dan tenang ini adalah murid Han Ti Ong, raja terakhir dari Pulau Es, dapat dibayangkan kemarahan hati
mereka. Dengan pandang mata mereka yang liar mereka hendak mencabik-cabik dan membunuh pemuda itu yang
dianggapnya seorang musuh besar, dan andaikata mereka itu tidak takut kepada ketua mereka, tentu mereka telah
menyerbu untuk melaksanakan niat yang terbayang dalam pandang mata mereka itu. "Akan tetapi dia selalu
menentang Han Ti Ong, menentang pembuangan ke Pulau Neraka!" terdengar suara beberapa orang membela, yaitu
suara Bouw Tang Kui, Lu Kiat, Sia Gin Hwa dan beberapa orang buangan baru yang lain. "Bunuh saja dia!" "Seret
murid Han Ti Ong!" "Jadikan dia mangsa ular!" Kakek bekepala besar itu mengangkat kedua lengannya ke atas dan
membentak, "Diam...!!" Sin Liong kembali terkejut. Ketika mengeluarkan suara bentakan tadi ketua Pulau Neraka
agaknya telah mengerahkan khikangnya sehingga dia sendiri yang berdiri di depan kakek itu merasa betapa kedua
kakinya tergetar! Mengertilah dia bahwa ketua Pulau Neraka ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian tinggi dan
tahulah dia bahwa dia telah memasuki sarang naga dan berada dalam keadaan terancam. Namun Sin Liong tidak
merasa takut sedikitpun juga karena dia merasa bahwa dia tidak melakukan suatu kesalahan terhadap mereka ini.
Maka kembali dia menjura kepada ketua Pulau Neraka sambil berkata, "To-cu, sekali lagi kujelaskan bahwa
kedatanganku ini sama sekali tidak mengandung niat buruk dan kalau tidak ada perlu sekali pasti aku tidak akan
berani menginjakan kaki ke pulau ini. Aku datang untuk mencari Sumoiku yang bernama Han Swat Hong puteri
Suhu....." Sin Liong menghentikan kata-katanya karena teringat bahwa dia telah kelepasan bicara, akan tetapi
karena sudah terlanjur maka tak mungkin kata-kata itu ditariknya kembali. "Putera Han Ti Ong...??" Ketua Pulau
Neraka berseru keras sekalli sampai mengagetkan semua orang. "Kau mencari puteri Han Ti Ong di sini?" Sin Liong
berkata, "Benar, To-cu. Karena aku menduga bahwa dia berada di sini maka aku menyusul ke sini." "Tangkap puteri
Han Ti Ong!" "Bunuh dia!" "Gantung puterinya!" Kini Sin Liong mengangkat kedua lengannya dan sambil menggerakan
khikangnya dia beseru, "Harap Cuwi diam!" Dan diamlah semua orang. Di antara meraka yang memiliki kepandaian
tinggi, termasuk ketua Pulau Neraka, kagum sekali karena orang muda yang belum dewasa benar ini ternyata
memiliki kekuatan khikang yang amat hebat! "Harap Tocu tidak salah sangka. Puteri Han Ti Ong itu juga menjadi
orang buangan." Ucapan Sin Liong ini tentu saja mengejutkan dan mengherankan hati semua orang sehingga mereka
tidak dapat mengeluarkan kata-kata melainkan hanya memandang kepada SinLiong dengan mata terbelalak. "Kau
bohong!" Kakek berkepala besar itu menghardik. "Mana mungkin Han Ti Ong membuang puterinya sendiri ke Pulau
Neraka?" "Agaknya Tocu telah mengerti akan kerasnya peraturan hukum di Pulau Es, dan sebetulnya yang dianggap
melanggar hukum adalah istri suhu sendiri, istri tua, yang aku yakin hanyalah karena fitnah belaka. Suhu telah
menjatuhkan hukuman kepada Subo, dan Sumoi lalu mewakili ibunya untuk membuang diri ke Pulau Neraka, maka aku
menyusul ke sini untuk mengajaknya pulang ke Pulau Es." Tiba-tiba ketua Pulau Neraka tertawa bergelak, tertawa
penuh kegembiraan sampai kedua matanya mengeluarkan air mata! "Huah-ha-ha-ha! Ha-ha-ha, betapa lucunya! Rasakan
kau sekarang Han Ti Ong, Raja keparat! Rasakan kau betapa perihnya orang tertimpa kesengsaraan karena keluarga
berantakan. Haha- ha!" Semua orang yang melihat dan mendengar kata-kata ketua Pulau Neraka ini, kontan
tertawa-tawa semua, mentertawakan Raja Pulau Es! Biarpun mereka belum sempat membalas dendam kepada Raja Pulau
Es, mendengar nasib buruk Raja itu sudah merupakan hiburan besar yang amat menyenangkan hati mereka. Hanya anak
perempuan itu saja yang tidak ikut tertawa karena dia agaknya tidak mengerti apa-apa, dan pada saat itu dia
hanya saling pandang dengan Sin Liong yang juga terheran-heran. "Hei, Kwat Sin Liong! Betapa baiknya ceritamu,
akan tetapi aku masih belum percaya kalau tidak melihat sendiri peteri Han Ti Ong datang ke pulau ini. kita
tunggu dan lihat saja. Setelah aku melihat puteri Han Ti Ong berada di pulau ini, barulah kita akan bicara
lagi. Tangkap dia dan masukan dalam kamar tahanan sambil menanti munculnya puteri Han Ti Ong!" Si Brewok dan
beberapa orang yang agaknya menjadi pembantu utama ketua Pulau Neraka sudah melangkah menghampiri Sin Liong
dengan sikap mengancam. Pemuda ini maklum bahwa tidak ada jalan lain kecuali menyerah sambil menanti munculnya
Sumoinya karena sebelum dia bertemu degnan Sumoinya, melawan hanya akan menimbulkan permusuhan yang tidak ada
artinya saja. Maka dia mengangkat kedua tangannya dan berkata, "Aku tidak akan melawan, kecuali kalau kalian
menggunakan kekerasan. Aku menyerah dan mau menanti di kamar tahanan sampai Sumoiku muncul." Melihat sikap
tenang dan ucapan yang berwibawa ini, belasan orang yang mengurung Sin Liong dengan sikap mengancam tadi
kelihatan ragu-ragu. Akan tetapi Sin Long lalu melangkah ke depan dan berkata, "Marilah bawa aku ke kamar
tahanan." "Jangan ganggu dia, biar dia mengaso di kamar tahanan dan layani baik-baik sampai puteri Han Ti Ong
mucul. kalau dia membohong, hemm, baru kita akan berpesta membunuhnya!" Ketua Pulau Neraka berkata sambil
terkekeh-kekeh karena hatinya senang sekali mendengar betapa Han Ti Ong sampai membuang istrinya sendiri ke
Pulau Neraka, kemudian puterinya malah membuang diri ke Pulau Neraka. Biarpun dia belum percaya benar akan
cerita ini sebelum dia menyaksikan buktinya, namun berita itu saja sudah mendatangkan rasa senang di dalam
hatinya. Dengan sikap gagah dan tenang sekali Sin Liong digiring ke dalam kamar tahanan, diikuti oleh pandang
mata penuh khawatir dari anak perempuan tadi. Setelah rombongan itu lenyap, anak perempuan itu mencela ketua
Pulau Neraka, "Kong-kong kenapa dia ditahan? Dia luar biasa, berani dan pandai sekali!" "Hushh! Dia orang Pulau
Es, dia murid Han Ti Ong, karena itu dia adalah musuh kita. Mengerti?" Anak perempuan itu cemberut, lalu
meninggalkan kakek itu sambil bersungut-sungut sedangkan kakeknya tertawa bergelak dengan hati senang. Dia lalu
memberi isyarat memanggil seorang kepercayaannya, lalu berbisik-bisik sambil tersenyum-senyum. Pembantunya juga
tertawa, mengangguk-anguk lalu pergi. Kakek ini, ketua Pualu Neraka yang memiliki kepandaian tinggi, sama
sekali tidak curiga kepada cucunya sendiri, tidak tahu bahwa cucunya itu tadi menyelinap dan mendengarkan
perintah yang dia berikan kepada orang kepercayaannya. Sin Liong adalah seorang pemuda yang tidak pernah
mempunyai prasangka buruk terhadap orang lain. Dia belum banyak mengenal kepalsuan watak manusia dan biarpun
terhadap orang-orang Pulau Neraka, dia tetap menaruh kepercayaan. Maka diapun percaya penuh akan kata-kata
ketua Pulau Neraka dan dengan suka rela dia menyerahkan diri, tidak melawan ketika digiring memasuku kamar
tahanan! Setelah berada di dalam kamar di bawah tanah yang sempit itu, dengan jendela dan besi dari baja, dan
ruji baja yang kuat memenuhi jendela sebagai jalan hawa, dia segera duduk besila. Dia tak menaruh khawatir akan
keadaan dirinya, akan tetapi dia merasa gelisah mengapa sumoinya belum tiba di Pulau Neraka? Dia percaya bahwa
ketua Pulau Neraka tidak membohonginya. Kalau benar bahwa Swat Hong telah berada di Pulau Neraka, tentu tidak
seperti ini sikap mereka terhadap dirinya. Kalau begitu, jelas bahwa Sumoinya belum tiba di Pulau Neraka,
padahal telah berangkat lebih dahulu. Ke manakah perginya sumoinya itu? Tengah malam telah lewat dan keadaan
sunyi sekali dalam kamar tahanan itu. Tidak ada penjaga di luar pintu atau jendela, akan tetapi dia tahu bahwa
di pintu masuk lorong tahanan itu terdapat beberapa orang penjaga yang selalu siap dengan senjata di tangan.
Tiba-tiba dia mendengar suara wanita yang marah-marah di sebelah luar dan suara para penjaga ketakutan. "Kalian
berani melarangku masuk?" terdengar suara wanita itu. "Nona, tahanan ini adalah orang penting! dan...." "Dan
kauanggap aku bukan orang penting? Kaukira aku mau apa? Aku mau mengejeknya dan memakinya, dia adalah musuh
besarku. Apakah kau berani melarangku? Coba kau melarang dan aku akan mengatakan kepada Kong-kong bahwa kalian
berani kurang ajar kepadaku hendak menggodaku, aku mau melihat apakah kepala kalian masih akan menempel di
leher!" "Ah, tidak... bukan begitu...." "Maafkan, Nona...." "Silahkan masuk, silahkan;;;;" "Awas kalau ada yang
mengikuti aku dan mengintai, berarti dia mau kurang ajar dan akan kuberitahukan kepada Kong-komg!" Sin Liong
sudah menduga siapa wanita yang bicara di luar dan ribut-ribut dengan para penjaga itu, akantetapi begitu dara
itu muncul di bawah sinar lampu di luar ruji jendelanya, hampir saja dia berteriak memanggil karena mengira
bahwa Swat Hong yang muncul itu. Di bawah sinar lampu yang tidak begitu terang memang gadis cucu ketua Pualu
Neraka ini hampir sama dengan Swat Hong. Setelah melihat jelas bahwa yang datang adalah cucu ketua Pulau Neraka
dan mengingat akan kata-kata gadis ini di luar tadi bahwa kedatangannya dengan niat mengejek dan memakinya, Sin
Liong tetap duduk bersila dan bahkan memejamkan matanya, pura-pura tidur. "Ssssttt..." Sin Liong tidak
menjawab, bergerak sedikitpun tidak. Perlu apa melayani seorang bocah yang hanya datang hendak mengejek dan
memakinya? Demikian pikirnya sungguhpun hatinya terasa tidak enak juga harus mendiamkan saja orang yang susah
payah datang sampai ribut mulut dengan para penjaga. Tentu akan kecewa hatinya, pikir Sin Liong dan diam-diam
dia mengintai dari balik bulu matanya yang direnggangkanya sedikit. "Pssstttt... kau tidak tidur, bulu matamu
bergerak-gerak, jangan kautipu aku...." anak perempuan itu berkata lagi dengan suara bisik-bisik dan
meruncingkan bibirnya di antara ruji-ruji jendela. Sin Liong menarik napas panjang dan membuka matanya. "Hah,
kau boleh mengejek dan memaki sesukamu, kemudian pergilah agar aku dapat mengaso benar-benar," katanya.
"Hi-hik!" Gadis itu menahan ketawanya, menutupi mulutnya yang kecil. "Kiranya engkau sama bodohnya dengan para
penjaga itu, percaya saja apa yang kukatakan apa yang kukatakan di luar tadi!" Sin Liong bangkit berdiri dan
menghampiri jendela kamar tahanan. Mereka saling berhadapan dan saling pandang melalui ruji-ruji jendela. "Apa
yang kaumaksudkan, Nona?" Mulut yang tersenyum itu kini cemberut dan terdengar suaranya manja, "Kau tadi
menyebutkan Adik yang manis. Mengapa sekarang menjadi Nona? kau benar pandai mengecewakan hati orang!" Mau
tidak mau Sin Liong tersenyum. Bocah ini manja dan lincah, mengingatkan dia kepada Han Swat Hong. Banyak
persamaan antara kedua orang perempuan itu. "Baiklah, Adik yang manis. sebenarnya, mau apa kau datang ke sini
kalau bukan untuk mengejek dan memaki aku yang dianggap musuh oleh kakekmu?" "Aku datang untuk bercakap-cakap."
"Hemm, waktu dan tempatnya tidak tepat untuk bercakap-cakap. Aku adalah seorang tahanan dan engkau adalah cucu
To-cu di sini, tempat ini di kamar tahanan yang kotor dan sempit dan sekarang sudah lewat tengah malam. Harap
engkau kembali ke kamarmu dan tidur yang nyenyak. jangan-jangan kau akan dimarahi Kong-kongmu." "Aku tidak
takut! Aku sengaja datang ke sini untuk bercakap-cakap denganmu. Siapa berani melarangku?" Sikapnya menjadi
galak, matanya bersinar-sinar dan Sin Liong menarik napas panjang. Sejak lama dia memperoleh kenyataan betapa
ganjilnya watak wanita. Dia melihat watak-watak yang aneh dan sukar dimengerti yang dilihatnya pada diri Sia
Gin Hwa yang menyeleweng dari suaminya, berjinah dengan Lu Kiat, pada diri Liu Bwee ibu Swat Hong yang tadinya
periang lalu berubah pemurung dan berhati begitu sabar dan mengalah terhadap suaminya yang menyakitkan hatinya,
pada diri The Kwat Lin yang juga amat berubah setelah menjadi istri raja, pada diri Swat Hong yang telah nekad
membuang diri ke Pualu Neraka, dan kini dia berhadapan dengan seorang gadis yang juga berwatak aneh sekali.
"Baiklah, jangan marah karena tidak ada yang melarangmu di sini. Kalau kau ingin bercakap-cakap, nah,
bercakaplah dan aku akan mendengarkan." Gadis itu melongo. "Bercakap apa?" Diam-diam Sin Liong merasa geli.
Benar-benar seorang gadis yang masih seperti kanak-kanak dan mungkin semua sikapnya tadi, ketika bergembira dan
ketika marah, tidaklah setulusnya hati maka demikian mudah berubah. "Bercakap apa saja sesukamu, misalnya siapa
namamu, siapa pula nama Kong-kongmu dan keadaan di pulau ini dan lain-lain." Wajah itu berseri kembali, gembira
setelah ingat bahwa sesungguhnya banyak sekali bahan untuk dibicarakan. "Namaku Soan Cu, Ouw Soan Cu...."
"Namamu indah." Sin Liong memuji untuk menyenangkan hatinya. Dan memang hati Soan Cu senang sekali mendengar
pujian ini. "Benarkah? Benarkah namaku indah?" Dengan penuh gairah dia lalu menceritakan riwayatnya secara
singkat. Ketua atau Majikan Pulau Neraka itu bernama Ouw Kong Ek bukanlah seorang buangan dari Pulau Es,
melainkan keturunan orang buangan yang semenjak ratusan tahu menjadi ketua di situ karena memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Kakek dari Ouw Kong Ek, seorang buangan dari Pulau Es yang berilmu tinggi, adalah seorang
pertama yang menjadi "Ketua" di Pulau Neraka, kemudian menurunkan kedudukan ini kepada anaknya sampai kepada
Ouw Kong Ek. Ouw Kong Ek sendiri mengambil seorang buangan dari Pulau Es, seorang bekas pelayan permaisuri Raja
Pulau Es yang dijatuhi hukuman buang karena fitnah dan sesungguhnya dia tidak mau melayani seorang pangeran
yang tergila-gila kepadanya, menjadi istrinya mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Ouw Sian Kok. Akan
tetapi istrinya meninggal dunia ketika Ouw Sian Kok menikah dengan seorang gadis Pulau Neraka dan Ketua Pulau
Neraka ini tinggal menduda. Dia mencurahkan pengharapanya kepada putera tunggalnya yang mewarisi semua ilmunya
dan yang diharapkan kelak akan menggantikan kedudukanya kalau dia sudah mengundurkan diri. Namun nasib buruk
menimpa keluarga Ouw. Ketika istri Ouw Sian Kok melahirkan seorang anak, yaitu Soan Cu, ibu muda ini meninggal
dunia. Ouw Sian Kok demikian berduka sehingga ingatannya terganggu, menjadi gila dan melarikan diri dari Pulau
Neraka, tak seorangpun tahu kemana perginya orang gila itu. "Demikianlah riwayatku yang tidak mengembirakan,"
Soan Cu mengakhiri ceritanya. Sejak kecil aku tidak pernah melihat wajah ibu dan ayahku. Ayah sampai sekarang
tidak pulang dan tidak ada yang tahu berada di mana. Aku dipelihara dan dididik oleh Kong-kong yang
mengharapkan kelak aku menggantikan kedudukan ketua di sini. Akan tetapi aku tidak sudi!" "Mengapa tidak suka,
Soan Cu?" "Siapa sudi mengurusi orang-orang gila itu! Mereka semua gila dan jahat, karena itu aku suka kepadamu
Sin Liong. Engkau lain dari pada mereka, engkau berani dan baik. Maka aku datang untuk menolongmu. Ketahuilah,
sebentar lagi, kalau kau dikira sudah tidur, engkau akan dibunuh!" Sin Liong terkejut akan tetapi tetap
bersikap tenang. "Benarkah? Mengapa aku dibunuh? Bukankah Kongkongmu berjanji bahwa kita akan berjanji akan
menunggu sampai Sumoiku tiba di Pulau Neraka?" "Uhh, kau percaya kepada Kong-kong! Hmm, dia hanya membohong."
"Ah, mengapa begitu? Sebagai seorang ketua tidak sepatutnya kalau dia menipu." "Membohong dan menipu merupakan
pebuatan yang menguntungkan dan bahkan dianggap baik dan layak di sini! itu adalah tanda dari kecerdikan
seseorang!" "Pantas kau tadi pun membohongi penjaga." Sin Liong mencela. "Memang, kalau tidak membohong, mana
bisa masuk dengan mudah? Dan kau tentu akan celaka kalau akau tidak membohong." "Hmmm..., alasan dicari-cari
dan ngawur. Jadi mereka hendak membunuhku? Mudah saja, apa dikira aku begitu mudah dibunuh?" "Kau tidak tahu
kecerdikan Kong-kong, Sin Liong. Kalau digunakan kekeras, agaknya kau akan melawan dan sudah melihat kau tadi
sudah lihai. Akan tetapi, mereka akan mengerahkan binatang-binatang berbisa untuk mengeroyokmu dan membunuhmu
di kamar sempit ini! Kalau segala macam ular, kalajengking, kelabang, lebah dan lain binatang berbisa itu
datang memenuhi tempat ini dan mengeroyokmu, apa yang akan dapat kaulakukan untuk menyelamatkan diri?" "Hemm,
aku akan berusaha membela diri, kalau aku gagal, aku akan mati dan habis perkara. tidak ada hal yang
menggelisahkan hatiku." "Kau sombong! Kau tidak minta tolong kepadaku?" "Andaikata aku minta tolong juga, kalau
kau tidak mau menolong, apa artinya? Tanpa kuminta sekalipun, kalau kau mau menolong, bagaimana caranya?
Sudahlah, kau hanya akan menyusahkan dirimu sendiri saja, Soan Cu. Betapapun juga terima kasih atas
kedatanganmu dan kebaikan hatimu. Kau seorang dara yang cantik dan baik budi, sayang kau berada diantara
orang-orang liar itu. Pergilah, jangan sampai kakekmu melihat engkau berada disini." Soan Cu mengeluarkan
sebuah bungkusan. "Inilah yang akan menyelamatkanmu. Kaupergunakan obat bubuk ini untuk menggosok semua kulit
tubuhmu yang tampak, dan sebarkan sebagian di sekelilingmu. Tidak akan ada seekor pun binatang berbisa yang
berani datang mendekat, apalagi menggigitmu. Nah, sebetulnya kedatanganku hanya untuk menyerahkan ini, akan
tetapi kita terlanjur ngobrol panjang lebar. Selamat tinggal, Sin Liong." Sin Liong menerima bungkusan itu,
mengulurkan tangan dari antara ruji jendela dan memegang lengan dara itu. "Nanti dulu, Soan Cu." Ada apa lagi?"
Gadis itu membalikan tubuh dan mereka saling berpegangan tangan. Hal ini dilakukan oleh Sin Liong karena dia
merasa terharu juga oleh pertolongan yang sama sekali tidak disangka-sangka itu. "Soan Cu, tahukah engkau apa
yang akan terjadi padamu kalau sampai Kong-kongmu mengetahui akan perbuatanmu ini?" "Menolong engkau? Ah,
paling-paling dia akan membunuhku!" "Hemm, begitu ringan kau memandang akibat itu? Soan Cu, mengapa kau
melakukan ini untukku? Mengapa kau menolongku dengan mempertaruhkan nyawa?" "Sudah kukatakan tadi. Kau lain
dari pada semua orang yang kulihat di pulau ini. Aku suka padamu dan aku tidak ingin mendengar apalagi melihat
engkau mati. Sudahlah, hati-hati menjaga dirimu, Sin Liong!" Gadis itu meloncat dan berlari keluar. Sin Liong
berdiri temenung sejenak, kemudian kembali ke tengah kamar tahanan dan duduk bersila menenangkan hatinya.
Andaikata tidak ada Soan Cu yang datang memberikan obat penawar dan pengusir binatang berbisa, dia pun tidak
kan gentar dan belum tentu dia akan celaka oleh binatang-binatang itu, sungguhpun dia sendiri belum mau
membayangkan apa yang akan dilakukanya kalau serangan itu tiba. Apalagi sekarang ada obat bubuk itu. Dia
teringat betapa penghuni Pulau Neraka dapat menjelajahi hutan yang penuh binatang berbisa dengan enaknya karena
tubuh mereka sudah memakai obat penawar. Agaknya inilah obat penawar itu. Dia membuka bungkusan dan melihat
obat bubuk berwarna kuning muda yang tidak akan kentara kalau dioleskan di kulit tubuhnya. Sin Liong bersila
dan mengatur pernapasan, melakukan siulian (samadhi) lagi. Pendengarannya menjadi amat terang dan tajam
sehingga dia dapat menangkap suara mendesis dan suara yang dikenalnya sebagai suara lebah yang datang dari
jauh, makin lama makin mendekat itu. Tahulah dia bahwa apa yang diceritakan oleh Soan Cu memang tidak bohong.
Sekali ini agaknya anak itu tidak membohong! Maka dia lalu membuka bungkusan, menggosok kulit tubuhnya yang
tidak tertutup pakaian dengan obat itu. Mukanya sampai ke leher, tangan dan kakinya, digosoknya sampai rata.
Kemudian sambil membawa bungkusan yang terisi sisa obat itu, dia menanti. Tak lama kemudian, suara itu menjadi
makin dekat dan tiba-tiba saja munculah mereka! Diam-diam Sin Liong bergidik juga. Tentu dia akan melompat
kalau saja dia tidak mempunyai obat penolak itu. Dari bawah pintu, puluhan ekor ular kecil dan kelabang besar,
kalajengking yang besarnya sebesar ibu jari, merayap dengan cepat memasuki kamar, berlomba dengan lebah-lebah
putih yang beterbangan masuk melalui jendela. Sin Liong cepat menyebarkan bubuk obat ke sekeliling di atas
lantai, dan menaburkan sebagian ke atas, ke arah lebah-lebah yang berterbangan. Dia tersenyum kagum melihat
akibatnya. Semua binatang berbisa itu, dari yang paling kecil sampai yang paling besar, tiba-tiba serentak
membalik saling terjang dan saling timpa, lari cerai berai meninggalkan kamar. Lebah-lebah putih juga terbang
dengan kacau, menabarak dinding dan banyak yang jatuh mati, yang sempat terbang keluar jendela saling tabrak
seperti mabok, dan sebentar saja suara binatang-binatang itu sudah menjauh. Akan tetapi mendadak Sin Liong
meloncat berdiri ketika medengar suara lain yang membuat jantungnya berdebar,. Suara seorang wanita
memaki-maki, "Iblis kalian semua! Manusia-manusia gila! Kalau tidak dapat membasmi kalian, jangan sebut aku Han
Swat Hong!" Sin Liong meloncat ke arah jendela, kedua tangannya bergerak dan terdengar suara keras ketika
ruji-ruji jedela jebol semua. Dia meloncat dan keluar dari kamarnya, terus berlari keluar melalui lorong.
Setibanya di luar, tampaklah olehnya Swat Hong berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang, dua orang
anggota Pulau Neraka roboh dan mengaduh-aduh di bawah sedangkan belasan orang lain mengurung gadis itu. Sin
Liong menggeleng-geleng kepala. Sumoinya memang galak dan pemberani. Bukan main gagahnya. Dikurung oleh
orang-orang Pulau Neraka itu masih enak-enak saja, bahkan tidak mencabut pedang, padahal semua yang
mengurungnya memegang senjata.



"Heiii! Mundur kalian, jangan ganggu dia!!" Sin Liong sudah meloncat ke depan. "Kau yang mundur! Mengapa
ikut-ikut keluar?" Swat Hong membentak dan memandang Sin Liong dengan mata mendelik. "Ehh? Sumoi...? Aku hanya
ingin menolongmu." "Siapa membutuhkan pertolonganmu? kembalilah ke kamar tahananmu itu dengan ... dengan..."
Akan tetapi Swat Hong tak dapat melanjutkan kata-katanya karena kini orang-orang Pulau Neraka telah
mengeroyoknya. "Wuuuttt... siuuuuttt!" Tubuh Swat Hong sudah menyambar ke sana-sini, selain mengelak dari
serbuan banyak senjata itu, juga untuk mengirim serangan serangan balasan dengan tangan dan kakinya yang
bergerak cepat sekali. Bukan main hebatnya Swat Hong yang bergerak cepat dan yang didorong oleh perasaan marah
itu. Dia memang marah, bukan marah kepada orang-orang Pulau Neraka, melainkan marah kepada... Sin Liong!
Kiranya tanpa diketahui oleh Sin Liong sendiri, sudah sejak tadi Swat Hong tiba di tempat itu, menggunakan
kepandaiannya menyelundup sehingga tidak diketahui para penjaga dan dia telah dapat mendengarkan percakapan
antara suhengnya dan Soan Cu. Hatinya menjadi panas! Dia sendiri tidak tahu akan hal ini, tidak sadar mengapa
dia menjadi tidak senang mendengar betapa suhengnya bercakap-cakap dengan ramah bersama seorang gadis! karena
itu, niatnya untuk menolong suhengnya menjadi buyar dan dia hanya menonton saja ketika suhengnya diserbu
binatang berbisa dan dapat menolong diri dengan obat penolak yang diberikan oleh Soan Cu. Ketika Swat Hong yang
marah menyaksikan ibunya dijatuhi hukuman buang melarikan diri dari Pulau Es, dara ini segera berlayar
menggunakan sebuah perahu Pulau Es. Tujuannya memang hendak membuang diri ke Pulau Neraka menggantikan ibunya,
dan terutama hal ini dilakukannya sebagai protes kepada ayahnya. Akan tetapi karena dia belum pernah pergi ke
pulau tempat buangan itu, dan pula karena sudah jauh meninggalkan Pulau Es dia mulai merasa gelisah dan ngeri
memikirkan keadaan Pulau Neraka yang kabarnya amat berbahaya itu, maka dia tersesat jalan, mendarat di
pulau-pulau kosong sekitar Pulau Neraka. Akhirnya dia melihat dari jauh perahu Sin Liong meluncur di antara
gumpalan-gumpalan es yang menggunung. Dia merasa heran sekali melihat suhengnya dan merasa khawatir kalau-kalau
suhengnya itu mengejarnya atas suruhan raja untuk memaksanya kembali ke Pulau Es. Maka diam-diam ia lalu
mengikuti dari jauh sampai akhirnya dia melihat suhengnya mendarat di Pulau Neraka. Dengan menggunakan
kepandaianya. Swat Hong berhasil pula mendarat di Pulau Neraka. Dia tidak khawatir akan serangan
binatang-binatang berbisa, karena sebelum berangkat Swat Hong membawa batu mustika hijau yang dia dapat dahulu
dari ayahnya. Di bagian tertentu di dasar laut dekat Pulau Es terdapat batu mustika hijau ini yang amat sukar
didapat dan hanya beberapa orang penghuni Pulau Es saja yang berhasil mendapatkannya. Batu mustika hijau ini
mengandung khasiat yang mujijat terhadap ular berbisa dan semua binatang berbisa, selalu ditakuti
binatang-binatang itu, juga dapat dipergunakan untuk mengobati luka terkena gigitan binatang berbisa. Maka,
dengan batu mustika ditangannya, dengan mudah Swat Hong dapat memasuki Pulau Neraka tanpa mendapat gangguan
sedikit pun dari binatang berbisa yang hidup di pulau itu. Ketika Swat Hong tiba di tengah pulau, dia sempat
melihat sinar, maka dia menanti sampai larut malam dan menyelundup ke dalam tempat tahanan, dengan maksud
menolong suhengnya, akan tetapi tanpa disengaja dia dapat mendengarkan percakapan antara suhengnya dengan Soan
Cu. Inilah yang membuat hatinya menjadi panas sehingga ketika dia ketahuan para penjaga dan dikroyok, dia
menolak keras bantuan Sin Liong! Tentu saja Sin Liong menjadi terheran-heran melihat sikap sumoinya dan
memandang dengan alis berkerut dan hati khawatir. Sudah ada enam orang pengeroyok terguling roboh oleh gerakan
kaki tangan Swat Hong yang marah itu, padahal dara itu belum mencabut pedangnya. Dapat dibayangkan betapa akan
hebatnya kalau dara itu sudah menggunakan senjata! "Sumoi, tahan...!" Dia meloncat maju. "Singgg...! Mundur
kau!" Sin Liong terkejut melihat sumoinya mencabut pedang! Dan pada saat itu, terdengar bentakan keras,
"Siapakah gadis cilik itu berani mengacau disini? Ahhh, Kwa Sin Liong, engkau berani lolos dari tempat
tahanan?" Yang datang adalah Ouw Kong Ek, ketua Pulau Neraka! Tentu saja ketua ini tidak mengenal Swat Hong,
sebaliknya, dara itupun tidak mengenal kakek berkepala besar ini, maka dia memandang rendah dan membentak,
"Siapa kau? Kalau sudah bosan hidup, majulah!" Dara itu dengan gerakan gagah melintangkan pedangnya di depan
dada. Sin Liong cepat melangkah maju. Dia tahu betapa lihainya kakek ini, maka untuk mencegah pertempuran, dia
cepat berkata, "Tocu, jangan salah sangka.Dia adalah sumoiku, dia adalah puteri Suhu, Raja dari Pulau Es!"
Semua orang terkejut mendengar ini dan para pengurung melangkah mundur dengan mata terbelalak. Betapapun juga,
nama Raja Pulau Es masih merupakan nama ampuh dan selain dibenci, juga amat ditakuti oleh mereka. Tentu saja
sebagai puteri Raja Pulau Es, dara itu merupakan musuh yang dibenci dan juga ditakuti. Pantas saja dara itu
demikian lihai, pikir mereka. Hati mereka gentar. Tidak demikian dengan Ouw Kong Ek. Dia memandang Swat Hong
dan tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, jadi dia inikah puteri Raja Pulau Es? Puteri Han Ti Ong? Bagus, hayo tangkap
dia hidup-hidup!" perintahnya kepada para pembantunya yang segera melompat ke depan. "Tahan dulu!" Sin Liong
sudah mengangkat tangan kanannya ke atas. Semua orang, termasuk Ouw Kong Ek sendiri, memandang pemuda ini.
Betapapun juga mereka maklum bahwa pemuda ini lihai sekali, buktinya penyerbuan binatang-binatang berbisa untuk
membunuhnya di dalam kamar tahanan telah gagal, bahkan binatang-binatang itu lari cerai berai dan kini pemuda
itu sudah lolos dari dalam penjara. "Ouw-tocu, seperti sudah kuceritakan kepadamu, biarpun sumoi adalah puteri
Raja Han Ti Ong, akan tetapi ia menentang Ayahnya dan mewakili Ibunya dihukum ke Pulau Neraka. Dia tidak
memusuhi Pulau Neraka...." "Ha-ha-ha, apa pun yang kaukatakan, dia tetap adalah puteri Han Ti Ong, musuh besar
kami. Mana kami dapat percaya kepada kalian, puteri dan murid Han Ti Ong? Tangkap mereka!" "Nanti dulu, Tocu!
Mengapa engkau melanggar janji? Aku sudah mengatakan bahwa kedatanganku ke pulau ini hanya untuk mencari Sumoi
dan ternyata sekarang Sumoi telah tiba di sini, maka harap Tocu bersikap bijaksana dan membiarkan kami pergi
dari tempat ini." "Hai, Kakek berkepala besar yang tolol! Kau mudah saja dibohongi Suheng! Kami memang datang
untuk membasmi iblis-iblis di Pulau Neraka. Nah, kau mau apa?" "Sumoi!" Sin Liong membentak kaget dan cepat
berkata kepada ketua Pulau Neraka, "Tocu, jangan dengarkan dia. Agaknya dia telah mengalami tekanan batin yang
hebat sehingga mengeluarkan kata-kata kacau balau tidak karuan." Swat Hong mengangkat dada, menegakan kepalanya
dan menghadapi Sin Liong dengan mata mendelik dan berkata lantang, "Apa? Kau mau bilang bahwa aku telah menjadi
gila?" "Sumoi, kalau kau bicara seperti tadi, membohong tidak karuan, memang agaknya kau telah gila?" "Kau yang
baca selengkapnya »»

No comments: